NEWS UPDATE : SITUS "PP NURUL MUSTHOFA" SEKARANG SUDAH BISA DI AKSES VIA APLIKASI ANDROID. TUNGGU UPDATE DARI KAMI. SECEPATNYA AKAN KAMI UNGGAH APK NYA UNTUK DI DOWNLOAD,,, TERIMA KASIH
INFO UPDATE
KLIK DI SINI !!
×

INFO UPDATE

  • SAMPLE ATAM 1
  • SAMPLE ATAM 2
  • SAMPLE ATAM 3

MUHAMMAD ATAMMUN NI'AM

Ruang khusus info, pengumuman dan pemberitahuan seputar Pondok Pesantren

NURUL MUSTHOFA
Pasir - Mijen - Demak

SEKIAN TERIMA KASIH

PANGERAN DIPONEGORO 2

MEDAN PERTEMPURAN



Yogyakarta Di Isolasi


Tepat tiga minggu sesudah insiden penyerbuan Tegalrejo, pasukan Diponegoro melakukan penyerbuan terhadap nagara Yogyakartadari segala penjuru dengan kekuatan 6.000 pasukan, dimana pasukan ini terdiri dari tiga kolone: Kolone pertama dipimpin oleh Pangeran Abu Bakar, saudara dari Diponegoro yang juga seorang putra dari Sultan III. Pasukan pertama ini bergerak dari arah timur dan menyerbu Dalem Pakualaman. Mereka menghancurkan jembatan Kali Code, membakar perkampungan orang-orang Cina dan Eropa Kolone kedua dipimpin oleh Pangeran Adinegoro. Mereka berhasil menguasai jalan penghubung Yogya – Magelang - Surakarta. merusak gerbang-gerbang pajak.

Kolone ketiga di bawah pimpinan Pangeran Blitar, bergerak dari arah selatan dan menguasai jalan raya Bantul. Pasukan ini berusaha merebut keraton. Rumah para bupati (tumenggung) yang dianggap lawan dirusak, dijarah, dan dibakar.

Dalam penyerbuan tersebut, pasukan Diponegoro juga menjarah gudang-gudang logistik dan mengangkutnya ke luar kota. Penjarahan ini mengakibatkan sebagian besar penduduk Yogyakarta menderita kekurangan bahan makanan. Sultan Hamengkubuwono V berhasil diselamatkan dan diberi pengawalan ketat di benteng Vredenburg. Sedangkan Keraton Yogyakarta berhasil dipertahankan oleh pasukan Pengawal Keraton yang dipimpin oleh Mayor Wironegoro, tanpa menimbulkan kerusakan berarti.

Setelah dibakar, nagara Yogyakarta tidak diduduki oleh pasukan Diponegoro, melainkan hanya diisolasi. Pasukan Diponegoro memblokade semua jalan masuk ke kota dan berjaga-jaga di pinggir kota. Praktis, Yogyakarta menjadi kota mati dan kekurangan pangan. Tawanan dan barang-barang rampasan dibawa ke Selarong. Pasukan Diponegoro berhasil menduduki Yogyakarta selama tujuh hari. Serbuan terhadap nagara yang strategis berdampak luas. Para peserta conspiracy of silence, terutama para tumenggung dan demang bawahan, melakukan mobilisasi pasukan untuk melakukan perang. Akibatnya, dalam waktu singkat hampir seluruh wilayah Kesultanan bergolak. Satu-satunya kekeliruan strategi pasukan Diponegoro adalah mereka tidak sepenuhnya menduduki nagara. Terutama keraton yang menjadi simbol kekuasaan, sekalipun objek vital lainnya berhasil direbut.

Perang kemudian berkobar meluas ke segala penjuru tanah Jawa. Laskar tempur pengikut Pangeran Diponegoro tak mudah ditaklukkan, sebab di dada mereka terpendam Bara Api Semangat Perang Sabil. Tak kurang usaha licik untuk menundukkannya dengan menawarkan tahta dan status tanah perdikan kepada Pangeran Diponegoro. Namun bujuk rayu tawaran tahta dan uang yang terbukti ampuh dalam menyelesaikan pemberontakan Ningrat Jawa pada masa-masa sebelumnya ini tak membuat bergeming pendirian Pangeran Diponegoro dari tujuannya mendirikan negara Islam.

Strategi Belanda


Banyak kesulitan yang harus dihadapi oleh Belanda pada awal masa perang Jawa (1825-1827). Mulai dari jumlah pasukan yang hanya 3 resimen (satu resimen infanteri, satu resimen huzar, dan satu resimen artileri), ditambah legiun Mangkunagoro yang jumlahnya sekitar 1.800 orang. Pasukannya tersebut juga tidak mengenal medan (terrain) dengan baik. Tidak ada peta yang lengkap dan hampir semua peta yang tersedia berada dalam kondisi buruk dan cacat. Padahal sebagian besar wilayah Kesultanan Yogyakarta berbukit-bukit. Pasukan yang sebagian besar tidak mengenal medan menjadi faktor penghambat mobilitas. Kondisi cuaca juga tidak menguntungkan karena musim kemarau dan hujan berganti tidak menentu. Selain itu, karakter pemberontak yang mereka hadapi terkenal pemberani dan fanatik. Mereka amat membenci orang Eropa dan Cina.

Jenderal H.M. de Kock, yang ditugaskan sebagai Komisaris Pemerintah untuk Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, menyusun plan de champagne (rencana kampanye) untuk menumpas pemberontakan.

Plan de champagne tersebut terdiri atas:

~ Membuat persekutuan dengan Sunan Surakarta dan Mangkunagoro untuk mengisolasi Diponegoro.

~ Merebut sasaran strategis, yaitu nagara Yogyakarta, dari tangan pemberontak untuk mengembalikan kedaulatan Pemerintah Hindia Belanda dan kewibawaan Sultan.

~ Mengamankan jalur komunikasi darat yang strategis antara Surakarta-Klaten dan Klaten-Yogyakarta.

~ Mengamankan jalur komunikasi darat Semarang-Salatiga dan Salatiga-Surakarta.

~ Mengamankan jalur komunikasi darat di pantai utara antara Semarang-Rembang.

~ Mengamankan jalur komunikasi darat Pekalongan-Semarang.

~ Membebaskan daerah-daerah milik Kesultanan yang direbut dan diduduki oleh pemberontak, seperti Serang, Ngawi, dan Madiun.

~ Membebaskan daerah milik Pemerintah Hindia Belanda di Demak, Rembang, Jabarangkah (Karesidenan Pekalongan), Banyumas, Kedu, dan Bagelen sampai batas sungai Bogowonto.

~ Memanggil pasukan-pasukan yang beroperasi di luar Jawa dan menetapkan garis awal di beberapa pelabuhan pendaratan di Pantai Utara.

~ Merekrut spion dan orang-orang yang dipercaya untuk mencari informasi tentang lawan.

Selama 1825-1827, de Kock terus melakukan operasi militer dengan beberapa sasaran strategis.

Ia melakukan operasi militer dengan lima pendekatan langsung, yaitu:

~ Membuat persekutuan dengan Sunan Surakarta dan Mangkunagoro untuk mengisolasi Diponegoro, baik secara militer maupun politis, untuk membentuk pendapat umum bahwa pemberontakan adalah sebuah perbuatan jahat.

~ Mengikat persahabatan dengan musuh-musuh Diponegoro—para pangeran di Kesultanan Yogyakarta—agar tidak membantu Diponegoro, sekalipun bersikap pasif.

~ Merebut kembali daerah-daerah Kesultanan Yogyakarta yang diduduki oleh pengikut Diponegoro. Menegakkan kembali keamanan dan pemerintahan agar pajak-pajak dapat dipungut dan perekonomian dapat berjalan kembali secara lancar.

~ Menggiring pasukan pemberontak ke daerah antara Sungai Progo dan Bogowonto sebagai killing area.

~ Menangkap pemimpin tertinggi pemberontak, yaitu Diponegoro sebagai “center of gravity”.

Selain itu, de Kock juga menyebarkan seruan kepada pengikut Diponegoro bahwa ia akan memberikan pengampunan kepada mereka yang dengan sukarela menyerahkan diri. Ia juga menulis surat kepada Diponegoro dan Mangkubumi yang berada di Selarong. Diponegoro segera merundingkan isi surat itu dengan Pangeran Mangkubumi dan Kyai Mojo, kemudian memerintahkan kepada Pangeran Joyokusumo dan Pangeran Suryenglogo untuk menulis surat balasan yang secara tegas menolak berdamai.

Setelah menerima surat balasan, de Kock segera memerintahkan pasukan kolose kedua untuk menyerbu Selarong, tetapi desa Selarong telah kosong. Para pimpinan pasukan Diponegoro telah berpencar meninggalkan Selarong menuju ke pelbagai arah. Kegagalan dalam penyerbuan Selarong tersebut membuat perang menjadi semakin berlarut-larut.

Perkiraan de Kock yang membiarkan lawan berperang dengan cara perangnya sendiri sampai kehabisan logistic ternyata keliru. Karena prajurit-prajurit Diponegoro ternyata mampu bertahan hanya dengan makan nasi kering dan garam. Dapat dikatakan, operasi pengejaran (marching, fighting, camping) selama 1825-1827 yang diprakarsai oleh Jenderal de Kock telah gagal menangkap Diponegoro.

Pada pertengahan tahun 1827, Jenderal De Kock mulai merintis jalan perundingan dengan menugaskan seorang pengusaha berkebangsaan Inggris (William Stavers) dan seorang pengusaha keturunan Arab (Ali Chalif) untuk berunding serta menawarkan kepada Pangeran Diponegoro untuk memilih tanah di mana saja yang diinginkannya asal bersedia menghentikan peperangan.

Menjawab tawaran Jenderal De Kock itu, Pangeran Diponegoro menjawab ia mau menghentikan peperangan dengan syarat:

Pertama, semua orang Belanda harus memeluk agama Islam.

Kedua, wilayah pesisir utara Jawa dikembalikan kepada Kesultanan.

Ketiga, orang Belanda boleh tinggal di Jawa tetapi tidak boleh melakukan aktivitas perdagangan.

Tujuan peperangan tidak lain adalah untuk memuliakan agama Islam. Perang perlawanan rakyat semesta yang dipimpin Pangeran Diponegoro ini pun terus berkobar. Perang yang panjang dan melelahkan bagi kedua belah pihak.

Operasi Stelsel Benteng (1827-1830)


Selama perang berlangsung pemerintah Hindia Belanda terpaksa harus membangun lebih dari 250 buah benteng untuk mendukung strategi perang Stelsel Benteng. Menerapkan strategi politik berupa Blokade Politik, Isolasi Politik, politik Belah Bambu (Stick and Carrot), Politik Adu Domba (Devide Et Empera). Dibarengi penelitian sosio budaya untuk menguak titik kelemahan kekuatan Laskar Diponegoro yang dilakukan oleh ilmuwan orientalis ahli urusan Pribumi dan orang Jawa (Roorda van Eysinga).

Mereka juga mendatangkan bala bantuan pasukan koninklijke leger expedisi yang didatangkan langsung dari negeri Belanda. Selain itu, untuk menambah jumlah pasukannya, Belanda kemudian merekrut prajurit dari Afrika dan Pantai Gading—yang kemudian dikenal sebagai Belanda hitam. Serta pasukan dari Korea Belanda juga memobilisasi pasukan bantuan prajurit Pribumi dari berbagai daerah (Hulptroepen), antara lain : Legiun Mangkunegoro, Pasukan Kasunanan Surakarta, Manado dan Gorontalo (pimpinan Hasan Monwarfa), Buton (pimpinan Raja Haji Sulaiman), Alfoeren Halmahera, Tidore, Ternate, Sumenep Madura, Badung Bali, dan dari beberapa daerah lainnya. mendatangkan tentara yang bermarkas di Sulawesi hingga total kekuatannya mencapai 23.000 personel.

Perang ini telah menguras keuangan pemerintah Hindia Belanda yang mengeluarkan biaya perang hingga tak kurang dari 25.000.000 Gulden (Rp 127 Milyar). Biaya perang yang sangat besar untuk ukuran masa itu. Konsekuensi finansial yang besar untuk strategi Stelsel Benteng hingga Belanda menyebut Perang Diponegoro sebagai groote onheilen (bencana besar) bagi administratif Kolonial. Defisit anggaran mereka sampai f18.000.000 Gulden (sekitar Rp 92 Milyar). Dan tahun 1827 saja tidak kurang dari 3000 orang serdadu Eropa tewas di hadapan kedigdayaan Tentara Islam Diponegoro. Gagalnya strategi mobilitas merupakan pengalaman yang berharga. De Kock selama ini banyak terfokus untuk menangkap pimpinan pemberontak. Ia kini mencoba untuk melakukan cara pendekatan pribadi dengan para tumenggung beserta bawahannya. Operasi-operasi militer intensif bukan semata-mata untuk menghancurkan lawan atau merebut daerah lawan, tetapi juga sekaligus mengucilkan para pemimpinnya. Berbeda dengan perang umum, pihak lawan dalam perang kecil tidak memiliki center of gravity sehingga sulit untuk menentukan sasaran pokok. Salah satu cara menghancurkannya adalah dengan merebut milik yang paling berharga bagi mereka,to capture whatever they prize most.

Bagi de Kock, para pimpinan lawan adalah sesuatu yang amat berharga. Mereka dibujuk dan diajak berbicara untuk menyelesaikan permusuhan secara damai. Berunding dengan lawan tidak berarti mengurangi kehormatan dan kewibawaan pemerintah karena karakter orang Jawa ternyata sulit diperhitungkan. Mereka seringkali terlihat sebagai orang yang lamban dan pemalas, namun ternyata mereka adalah gerilyawan yang tangguh.

Dari hasil pemikiran dan pengalaman di lapangan, de Kock memperbaiki kesalahan strategi mobilitasnya. Pada tahun 1827, ia memutuskan untuk melaksanakan strategi baru, yaitu strategi Stelsel Benteng. Strategi ini meliputi dua aspek, yaitu aspek strategi dan aspek sistem persenjataan yang menyatukan pasukan dengan senjatanya. Dalam strategi ini, benteng, meriam dan pasukan menjadi unsur pokok ofensif-defensif. Benteng menjadi tidak terpaku dalam satu wilayah (statis), tetapi dinamis.

Dalam teori strategi, Stelsel Benteng disebut sebagai strategi tidak langsung. Sebab, penguasaan wilayah agar pasukan dapat memperoleh kebebasan bergerak esensinya. Pasukan harus berada sedekat mungkin dengan lawan untuk memecahkan konsentrasi pasukan lawan, sehingga benteng sebagai pangkalan pasukan harus dibangun sedekat mungkin dengan daerah penduduk lawan. Operasi-operasi militer yang berupa patroli taktis ofensif dilakukan secara teratur. Gunanya untuk mendesak lawan ke suatu “killing area”, yaitu daerah antara Sungai Projo dan Bogowonto, yang merupakan daerah yang dijaga secara ketat dengan mendirikan benteng-benteng untuk mempersempit lawan dan mencegah penerobosan lawan ke luar wilayah, serta mendisorganisasi kekuatannya.

Pelaksanaan strategi benteng disertai beberapa pedoman dan operasi yang harus ditaati oleh setiap prajurit, seperti larangan (forbidances) bagi pasukan untuk tidak membakar desa (rumah, lumbung-lumbung pangan dan rumah ibadah), menangkap ternak (lembu, kerba dan kambing), menghancurkan panen juga persediaan makanan atau lumbung-lumbung pangan. Perbuatan-perbuatan tersebut hanya akan menimbulkan sikap antipati dan permusuhan yang berujung perlawanan.

Pasukan juga diharuskan berhubungan langsung dengan masyarakat agar mereka merasa terlindungi. Merebut simpati masyarakat amat esensial dalam strategi ini. Inilah sebuah strategi yang menggabungkan beberapaaspek militer ofensif-defensif dengan aspek kultural, psikologi dan ekonomi.

Secara ringkas, konsepsi Stelsel Benteng adalah penguasaan teritorial atau penaklukan total. Penguasaan teritori merupakan tujuan pokok, sebab jika keamanan ditegakkan, diharapkan perekonomian rakyat akan pulih dan pajak-pajak bisa dipungut kembali. Aspek kultural yang disosialisasikan kepada tentara adalah menghormati kepercayaan dan budaya setempat. Aspek psikologi terutama untuk melunakkan sikap fanatik (dwiepziek) lawan.

Konsepsi Stelsel Benteng dimaksudkan untuk memperbaiki kualitas daya tempur pasukan Jendral de Kock yang merasa malu atas kegagalan selama perang dua tahun. Dapat dikatakan, strategi itu adalah kekuatan baru setalah gagasan membagi Kesultanan Yogyakarta ditolak oleh Menteri Koloni dan Kelautan, Elout, pada April 1827 atas nama Raja Belanda.

Operasi sosial dilakukan oleh Belanda dengan mengerahkan para bangsawan pemilik apanage ke medan perang dengan tugas utama mempengaruhi masyarakat agar tidak melakukan “perbuatan jahat”. Istilah “berandal” juga dipopulerkan di masyarakat.

Operasi psikologi dilakukan oleh Belanda dengan mengangkat kembali Sultan Sepuh (Sultan Hamengkubuwono II) pada Agustus 1826. Pengangkatan ini membawa pengaruh besar terhadap sebagian bangsawan yang berpihak pada Diponegoro. Pangeran Mangkudiningrat, adalah salah satu pimpinan pasukan di Sambiroto yang meninggalkan Diponegoro. ia menghubungi Residen Kedu, van Valck, untuk menyatakan keinginannya menghentikan permusuhan dengan meminta imbalan apanage di Kaliabu Pada 1 Desember 1826, sekalipun permohonannya ditolak, Mangkudiningrat tetap menyerah.

Menyerahnya Mangkudiningrat menginspirasi Belanda untuk membuat surat tawaran yang berisi ajakan untuk berdamai dan menghentikan permusuhan juga disampaikan kepada para pimpinan pasukan Diponegoro lainnya. Pangeran Notoprojo dan Pangeran Serang berhasil dibujuk.

Belanda juga melakukan operasi teritorial sebagai upaya menjauhkan Diponegoro dari rakyat. Karena tanpa dukungan rakyat, pasukan Diponegoro akan terisolir dan hanya dianggap sebagai berandal atau gerombolan perampok. Tujuan utamanya adalah untuk memikat hati rakyat, membina perkawanan, dan merebut teritori secara damai, yang berguna untuk mempersempit ruang gerak lawan. Belanda berusaha merebut simpati rakyat dengan membentuk opini dan sikap antipati terhadap pasukan Diponegoro.

Operasi teritorial dilakukan dengan dua cara, persuasif dan intimidasi. Cara persuasif dilakukan untuk meyakinkan rakyat bahwa tentara Belanda tidak berperang atau memusuhi orang Jawa, tetapi hanya mencari Diponegoro dan Kyai Mojo serta pengikutnya. Cara kedua dilakukan dengan intimidasi. Bila ada orang yang menolak memberikan informasi kepada pasukan Belanda, seluruh penduduk akan dianggapberandal dan desa akan dibakar. Para kuli dan tukang rumput (untuk kuda) juga tidak akan dibayar upahnya.

Strategi Stelsel Benteng ini memaksa pasukan Diponegoro untuk berpencar menjadi kelompok-kelompok kecil. Keadaan ini bukan tanpa resiko. Komunikasi diantara para pimpinan pasukan Diponegoro menjadi terhambat. Masing-masing akhirnya mengambil inisiatif sendiri tanpa menunggu arahan komando dari panglima tertinggi, yaitu Diponegoro. Destabilisasi mulai terjadi di tubuh pasukan Diponegoro. Menurut Carley, ada tiga indikator utama terjadinya destabilisasi sebuah jaringan, yaitu berkurangnya aliran informasi, kesulitan untuk mencapai konsensus umum, dan berkurangnya efektivitas pelaksanaan tugas secara keseluruhan.

Kondisi ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk melakukan bujukan dan rayuan kepada beberapa tokoh kunci pasukan Diponegoro. Tawaran pengampunan atau negosiasi penyelesaian permusuhan secara damai pun dilakukan oleh Belanda. Untuk mengantisipasinya, Diponegoro memutuskan tidak seorang pun boleh bertemu dengan Residen Kedu, van Valck.

Kyai Mojo


Menurunnya perlawanan pasukan Diponegoro ditandai dengan menyerahnya pemimpin spiritual perjuangan, Kyai Mojo pada tahun 1829. Tak berapa lama, panglima utama Diponegoro Sentot Alibasya dan Pangeran Mangkubumi, menyusul menyerah. Ketidaksamaan tujuan mulai terjadi diantara para pimpinan pasukan Diponegoro. Salah satunya adalah antara Diponegoro dengan Kyai Mojo. Perdebatan besar terjadi antara Diponegoro dan Kyai Mojo pada Agustus 1827 tentang hakikat kekuasaan politik. Kyai Mojo, menurut Diponegoro, menantang posisinya sebagai Sultan Herucokro dengan memintanya membagi kekuasaan menjadi empat bagian, yaitu kekuasaan Ratu (Raja), wali (penyebar agama), pandita (yang terpelajar di bidang hukum), dan mukmin (orang yang percaya). Mojo menyarankan agar Diponegoro memilih satu saja dari empat fungsi di atas.

Jika Pengeran Diponegoro memilih menjadi ratu, Kyai Mojo mengatakan ia sendiri akan mengambil kekuasaan wali dan akan menjalankan kekuasaan agama secara mutlak. Namun, Diponegoro menolak pembagian kekuasaan semacam itu. Bagi Diponegoro, ia adalah Khalifah Nabi Allah dalam perang suci di Tanah Jawa, dimana kekuasaan politik dan agama berada di tangannya.

Perdebatan berlarut-larut ini ternyata sulit diselesaikan. Fakta bahwa Kyai Mojo menjadi kekuatan ideologi pendorong di balik perang dan intelektual Diponegoro yang tidak mudah didikte menciptakan keadaan dimana sulit dicari titik temu. Karakter keras kepala dan yakin akan pendapatnya sendiri membuat Kyai Mojo sempat membuat keputusan sendiri tanpa sepengetahuan Diponegoro. Pada awalnya ia diinstruksikan oleh Diponegoro untuk kembali ke Pajang, namun kemudian mengambil inisiatif untuk bertemu dengan Letnan Kolonel Wironegoro (pihak Belanda) dan membuat perjanjian terpisah dengan Belanda.

Perubahan sikap Kyai Mojo, yang merupakan tokoh spiritual pasukan Diponegoro, terjadi akibat terbujuk muridnya, Kyai Dadapan (yang berkhianat memihak Belanda) dalam pertemuan tersebut Kyai Mojo mengajukan beberapa permintaan dan syarat, yaitu keluarganya diperbolehkan ke Pajang dengan hak-hak khusus, pengakuan dirinya sebagai penata agama di Keraton, serta mendapat pengawalan sebuah barisan pasukan berkuda.

Wironegoro menyanggupi semua permintaan Kyai Mojo apabila ia bersungguh-sungguh ingin menghentikan perang. Sayangnya Kyai Mojo tidak menyadari bahwa Belanda bersikap jauh lebih lunak kepada para ningrat yang menyeberang ke pihak mereka, tetapi tidak kepada santri terkemuka seperti dirinya yang mereka anggap sebagai pihak yang paling bertanggungjawab mengobarkan fanatisme agama dalam perang.

Inisiatif Kyai Mojo ini membuat Diponegoro marah. Perbuatan Kyai Mojo dinilai sebagai perbuatan nista dan perbuatan orang yang takut mati. Ia dianggap telah menghina rekan-rekannya yang gugur dalam perang sabil dalam rangka menegakkan agama Islam.

Dene banget karya nistha tulusuran luru urip tuture ngelmu tan kena wus titah lamun tan keni ginugu ujarneki ngulama apa ran iku Sungguh perbuatan yang nista berkelana hanya ingin hidup (takut mati) ilmunya tidak bisa perintahnya tidak bisa diteladani kata-katanya ulama macam apa dia Diponegoro menegaskan, bahwa ia tidak pernah mengijinkan Kyai Mojo untuk bertemu siapa pun. Mangkono maneh ki Maja Bicara tan sun lilani Lamun tan wani jurit Angur konen bali iku Demikian Kyai Mojo Tidak saya ijinkan berunding Jika tidak berani berperang Lebih baik kembali

Setelah peristiwa tersebut, Kyai Mojo berusaha bertemu dengan Diponegoro untuk meminta Maaf tetapi permintaan tersebut ditolak oleh Diponegoro.karena situasi yang tidak menentukan dan membahayakan Kyai Mojo serta pasukan nya. Akhirnya, Kyai Mojo berserta pasukannya kemudian menuju Pajang. Mengetahui hal itu, pasukan Letnan Kolonel Le Bron de Vexela yang telah mengintai Kyai Mojo dengan cepat mengikuti gerak Kyai Mojo. Pada 11 November 1828 dini hari, mereka melakukan pencegatan dan menyergap pasukan Kyai Mojo di tepi Barat Sungai Bedog. Kemudian, Kyai Mojo dan pengikutnya dibawa ke Salatiga. Keberhasilan Belanda menangkap Kyai Mojo dan pasukannya membuat pasukan Diponegoro yang masih tersisa semakin terkepung di daerah sempit antara Kali Progo dan Kali Bogowonto. Di situ, strategi Belanda untuk membangun benteng-benteng darurat untuk melindungi dan mempertahankan wilayah-wilayah yang baru saja dibebaskan oleh pasukan mereka mulai mempersulit Diponegoro dan para panglimanya dalam pasokan makanan dan logistik tempur lainnya. Kesulitan-kesulitan juga mulai dirasakan dalam memungut pajak untuk membiayai pasukan.

Pada awal perang, Diponegoro mengorganisasi kebijakan pajaknya sendiri di daerah-daerah yang berhasil direbut. Hal ini meliputi pajak tanah dan cukai di pasar-pasar setempat.Tugas-tugas militer dan tugas-tugas administratif sungguh-sungguh dipisahkan. Kadang-kadang, bupati yang diangkat Pangeran ikut dalam pertempuran, namun mereka kebanyakan diarahkan untuk memainkan peran administratif. Orang-orang yang dipilih Diponegoro untuk jabatan keuangan tersebut ditarik dari pejabat-pejabat priayi senior keraton yang pernah mengabdi pada kesultanan dalam jabatan yang sama. Namun bagi komandan militer, Diponegoro menerapkan kriteria yang berbeda. Di sini, kriterianya adalah keberanian pribadi dan keperkasaan dalam pertempuran. Dalam pandangan Pangeran, keberanian pada dasarnya adalah sifat orang muda.

Namun pada Desemebr 1828, dengan semakin sulitnya pendanaan yang dialami oleh pasukan tempur, membuat Sentot Prawirodirjo meminta agar diberi kuasa untuk memimpin seluruh kekuatan pasukan Diponegoro di medan tempur, sekaligus diizinkan untuk menarik pajak secara langsung.

Hal ini mengganggu batin Diponegoro, yang sadar bahwa perannya sebagai Ratu Adil mestilah menjamin kebijakan pajak yang ringan, dan tersedianya sandang pangan yang murah. Pangeran takut jangan-jangan rakyat kebanyakan bakal tertindas jika Sentot Prawirodirjo—yang terkenal suka hidup boros—diizinkan memegang dalam satu tangan tanggungjawab militer dan pemerintahan. “Jika orang yang memegang pedang juga nyambi memegang uang, bagaimana [ini]? Apakah tidak semakin kapiran (terbengkalai)?

Akhirnya, dengan rasa enggan Diponegoro setuju untuk memerintahkan pajak pasar bulanan dibagi antara Sentot Prawirodirjo dan dirinya, dengan dua pertiga untuk Sentot Prawirodirjo dan sepertiga untuk Pangeran pribadi.Pangeran Diponegoro cukup menyesali keputusannya tersebut. Segera sesudah Belanda membangun dengan cepat sebuah benteng baru yang besar di Nanggulan, di tepi jalan antara Sentolo dan Kalibawang, Sentot tidak bereaksi cukup cepat karena sibuk dengan urusan keuangan.

Ketika panglima muda ini memerintahkan serangan dengan kekuatan penuh, benteng Belanda sudah terlampau kuat untuk ditembus dan ia menderita kekalahan besar pada awal Januari 1829. Pertengahan 1829, suplai makanan semakin menipis. Pejabat-pejabat lokal yang semula mendukung Diponegoro sekarang berbalik menentangnya. Banyak yang mengungsi ke wilayah yang berada di bawah kendali benteng Belanda, karena keamanan dirasa lebih terjamin dan kesempatan ekonomi lebih baik. Perilaku culas dari sebagian pejabat pasukan Diponegoro serta kebijakan Belanda untuk merebut hati rakyat dengan memberikan bajak dan benih gratis kepada mereka yang mau pindah ke wilayah Belanda, mendorong para petani dan keluarga mereka tetap betah tinggal di dekat benteng tersebut. Ikatan kerjasama dan saling percaya antara pasukan Diponegoro dan penduduk desa setempat sudah rusak. Tanpa adanya dukungan rakyat tidaklah mungkin dilancarkan perang gerilya yang berhasil.

Bulan September 1829 benar-benar bulan yang menyedihkan bagi Diponegoro, sebagai pemimpin tertinggi Perang Jawa. Pada tanggal 25 September 1829 Mayor Bauer bersama Raden Mas Atmadiwirja (putera Pangeran Mangkubumi), Tumenggung Reksapraja beserta rombongan mencari Pangeran Mangkubumi, tetapi hasilnya nihil. Belanda tidak berputus asa. Jenderal De Kock mengutus Pangeran Natadiningrat, putera Pangeran Mangkubumi yang telah menyerah, untuk membujuk ayahnya. Maka pada tanggal 27 September 1829 Pangeran Natadiningrat berhasil membujuk ayahnya untuk menyerah kepada Belanda. Keesokan harinya, tanggal 28 September 1829 Pangeran Mangkubumi dibawa oleh puteranya ke Yogyakarta. Di pertengahan jalan (di Mangir) rombongan Pangeran Mangkubumi telah dijemput oleh Residen Van Nes dan pejabat-pejabat kesultanan Yogyakarta.

Pengaruh dari menyerahnya Pangerang Mangkubumi sangat besar bagi pasukan Diponegoro, karena secara berturut-turut telah menyerah pula pangeran Adinegara, Kanjeng Pangeran Aria Suryabrangta, Pangeran Suryadipura, Pangeran Suryakusuma, dan Kanjeng Pangeran Dipasana. Semuanya masih mempunyai hubungan famiIi dengan Diponegoro. Menyerahnya secara berturut-turut orang-orang di sekitar Diponegoro, benar-benar dapat melumpuhkan pasukan Diponegoro. Apalagi usaha untuk menarik Alibasah, panglima pasukan Diponegoro yang disegani masih terus dilanjutkan. Melalui Pangeran Prawiradiningrat, yang menjadi bupati Madiun dan saudara Alibasah sendiri, Belanda telah berusaha untuk menaklukkannya.

Sejak tanggal 23 Juli 1829 usaha ini telah dilakukan walaupun pada permulaannya gagal, karena syarat-syarat yang diajukan oleh Alibasah cukup berat, yaitu:

~ Memberikan uang jaminan sebesar £ I0.000

~ Menyetujui pembentukan sebuah pasukan di bawah Pimpinan Alibasah sendiri yang berkekuatan seribu orang dan dilengkapi dengan persenjataan dan pakaian seragam

~ Memberikan 400 – 500 pucuk senjata api

~ Pasukan Alibasah ini langsung dibawah komando pemerintah Hindia Belanda, dan bebas dari kekuasaan sultan atau pembesar bangsa

~ Mereka bebas menjalankan agamanya

~ Tidak ada paksaan minum Jenever atau arak

~ Diizinkan pasukannya memakai surban

Tawar-menawar syarat-syarat ini dilakukan pada tanggal 17 oktober 1829 di Imogiri, antara delegasi Ali basah dengan delegasi Belanda, yang hasilnya masih memerlukan waktu untuk diputuskan oleh penguasa tertinggi Hindia Belanda di Batavia.

Dalam surat yang ditulis Jenderal De Kock kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia, tertanggal 20 Oktober 1829, antara lain berisi: “saya telah menulis surat kepada Residen dan Kolonel Cochius bahwa mereka harus sedapat mungkin berusaha menyenangkan hati Alibasah, karena adalah hal yang penting sekali apabila orang seperti Alibasah dapat kita tarik ke pihak kita dan turut membela kepentingan kita. seperti yang hendak saya nyatakan dengan hormat, bahwa karena sebab-sebab itulah saya berpendapat bahwa adalah sangat penting apabila Alibasah sudah berada di pihak kita, makin lama makin mengikat dia pada kepentingan kita.

Sungguhpun hal ini harus disertai beberapa pengorbanan dari pada kita.” Surat Jenderal De Kock ini mendapat jawaban dari pemerintah Hindia Belanda di Batavia tertanggal 25 Oktober 1829, antara lain berbunyi: “Pemerintah pada dasarnya setuju dengan keinginan Jenderal (Jenderal De Kock) bahwa dari pihak kita harus dipergunakan segala apa yang mungkin dapat dipakai, selama hal itu dapat sesuai dengan kebesaran pemerintah dan berusaha sedapat mungkin mencegah kembalinya Alibasah ke pihak pemberontak.”

Melihat isi surat-surat pemerintah Bindia Belanda ini dapat disimpulkan bahwa Belanda bersedia memenuhi syarat-syarat yang diajukan oleh Alibasah. Oleh karena itu kepada Residen Yogyakarta diperintahkan untuk segera menyerahkan uang sebanyak £ 5.000 dan 200 pucuk senjata untuk dipergunakan pasukan Alibasah serta pasukannya itu langsung dibawah komando Jenderal De Kock, walau secara yuridis masih berada dibawah wewenang sultan. Syarat-syarat lainnya seluruhnya dipenuhi.

Untuk pelaksanaan penyerahan Alibasah dengan pasukannya, pada tanggal 23 Oktober 1829 Jenderal De Kock datang ke kota Yogyakarta untuk menyambutnya; dan pada tanggal 24 Oktober 1829 Alibasah dengan pasukannya memasuki kota Yogyakarta dan diterima oleh Jenderal De Kock dengan upacara militer yang meriah.

Dengan menyerahnya Pangeran Mangkubumi, Ali basah dan puluhan Pangeran dan Tumenggung serta tertangkapnya Kiai Mojo dan gugurnya ratusan tokoh-tokoh Perang Jawa, maka secara praktis Diponegoro tinggal sendirian. Pengalaman pahit dan getir yang di alami oleh Diponegoro sebagai pimpinan tertinggi perang Jawa, karena banyaknya sababat-sahabat meninggalkannya atau meninggal dunia.

Dalam kondisi yang demikian, ia harus menentukan pilihan:

Meneruskan pertempuran sampai mati syahid di medan laga atau menyerah kepada musuh sampai mati di dalam penjara.

Setelah menyerahnya Alibasah dengan pasukannya, operasi militer Belanda terus ditingkatkan guna memberikan pukulan terakhir terhadap pasukan Diponegoro yang tinggal sedikit lagi itu. Tekanan-tekanan pasukan Belanda kepada posisi pasukan Diponegoro yang terus-menerus ditingkatkan, banyak pula tokoh-tokoh Perang Jawa yang menyerah, antara lain pada bulan Desember 1829; salah seorang komandan pasukan Diponegoro yang masih ada yaitu Jayasendirga; Tumenggung Jayaprawira dan beberapa tumenggung lainnya beserta pasukannya bertekuk lutut kepada Belanda. Adapula yang karena kondisi kesehatan, akhirnya wafat di puncak gunung Sirnabaya Banyumas seperti Pangeran Abdul Rahim (saudara Diponegoro sendiri).

Pada akhir 1829, posisi Diponegoro beserta sisa pasukannya telah diketahui secara jelas. Namun de Kock tidak memerintahkan penyerbuan untuk membunuh Diponegoro. Ia sadar pengaruh Diponegoro masih besar di masyarakat Jawa. Hal ini terbukti saat ia mengumumkan sayembara untuk menangkap Diponegoro, hidup atau mati, dengan hadiah uang, tak seorang pun yang menanggapi. Sebagai pribadi dan sebagai seorang prajurit, de Kock ingin mengakhiri perang dengan kesatria tanpa menjadikan Diponegoro sebagai pahlawan. Kematian Diponegoro hanya akan membuat orang Jawa menganggap orang Belanda sebagai musuh—sesuatu yang sangat ingin dihindarinya.

Dengan alasan tersebut, ia akhirnya memilih untuk memperdaya dan membujuk Diponegoro keluar dari kantong pertahanannya secara damai untuk kemudian menangkapnya. De Kock berusaha mengeksploitasi nilai-nilai budaya dan karakter kesatria bangsawan Jawa yang ada pada diri Diponegoro. Salah satu nilai kesatria yang dianggap luhur adalah “seorang kesatria pantang ingkar terhadap janji”. Karena itu, ia memerintahkan Kolonel Cleerens untuk terus melakukan aksi tipu daya terhadap Diponegoro sampai ia mengucapkan janjinya.

Memasuki tahun 1830, musibah yang menimpa pasukan Diponegoro masih terus saja bertambah. Pada tanggal 8 Januari 1830, putera Diponegoro yaitu Pangeran Dipakusuma tertangkap oleh pasukan Belanda; pada tanggal 18 Januari 1830 berikutnya Patih Diponegoro menyerah kepada Belanda.

Usaha untak menghentikan Perang Jawa dengan damai yang licik terus dilakukan. Dengan menggunakan bekas tokoh-tokoh Perang Jawa seperti Alibasah dan Patih Danureja dalam usaha perdamaian licik membawa hasil yang menggembirakan bagi Belanda. Sebab pada tanggal 16 Februari 1830 telah terjadi pertemuan pertama antara Diponegoro dengan Kolonel Cleerens, wakil pemerintah Hindia Belanda dalam rangka perdamaian di Kamal, sebelah utara Rama Jatinegara daerah Bagelen.

Pertemuan perdamaian tidak dapat dilangsungkan, karena Diponegoro menuntut perundingan itu harus dilakukan oleh seorang yang mempunyai posisi yang sama dengan dia; setidak-tidaknya seperti Jenderal De Kock. Padahal Jenderal De Kock pada saat itu sedang berada di Batavia.

Untuk menunggu kedatangan Jenderal De Kock, maka Diponegoro dengan pasukannya terpaksa harus menginap di Kecawang sebelah utara desa Saka. Selama tenggang waktu perundingan, gencatan senjata dilakukan oleh kedua belah pihak. Desa Kecawang masih terlalu jauh, apabila perundingan akan dilangsungkan di sana. Oleh karena itu; untuk memudahkan jalan perundingan Diponegoro dengan pasukannya harus pindah ke Menoreh yang tidak begitu jauh dari Magelang, markas besar pasukan Belanda.

Pada tanggal 21 Februari 1830 rombongan Diponegoro telah tiba di Menoreh. Tetapi sampai 5 Maret 1830 Jenderal De Kock belum juga datang ke Magelang padahal bulan Ramadhan telah tiba. Berkenaan dengan bulan suci ini. Diponegoro tidak mau mengadakan perundingan dengan Belanda karena ia akan memusatkan dirinya untuk melakukan ibadah puasa selama sebulan. Kontak pertama antara Diponegoro dengan Jenderal De Kock terjadi pada tanggai 8 Maret 1830, sebagai perkenalan dan selanjutnya jadwal perundingan akan dilangsungkan sesudah bulan Ramadhan. Menjelang hari raya Idul Fithri, Diponegoro telah menerima hadiah dalam bentuk seekor kuda tunggang yang sangat baik dan uang sebesar f 10.000.- Kemudian diikuti dengan pembebasan putera dan isteri Diponegoro yang ditahan di Semarang dan membolehkan mereka berkumpul dengan Diponegoro di tempat penginapan perundingan di Magelang.

Pada tanggal 25 Maret 1830, Jenderal de Kock telah memberikan perintah rahasia kepada Letnan Kolonel Du Perron dan pasukannya untuk memperketat pengawalan dan penjagaan kota Magelang dengan mengerahkan pasukan Belanda dari beberapa daerah di Jawa Tengah. Instruksinya, apabila perundingan gagal, Diponegoro dan delegasinya harus ditangkap!

Pada tanggal 28 Maret 1830 perundingan akan dilangsungkan di gedung Keresidenan Kedu di Magelang. Sebelum jam 07.00 pagi Tumenggung Mangunkusuma datang kepada Residen Kedu untuk memberitahukan bahwa sebentar lagi Diponegoro dengan staf nya akan tiba. Pemberitahuan ini menyebabkan Letnan Kolonel Du Perron menyiap-siagakan pasukannya, sesuai dengan perintah Jenderal De Kock. Jam 07.30 pagi Diponegoro dengan stafnya dikawal oleh seratus orang pasukannya memasuki gedung keresidenan. Delegasi Diponegoro diterima langsung oleh Jenderal De Kock dengan staf nya. Perundingan dilakukan di tempat kerja Jenderal De Kock. Pihak Diponegoro disertai dengan tiga orang puteranya yaitu Diponegoro Anom, Raden Mas Jonad, Raden Mas Raab, ditambah dengan Basah Martanegara dan Kiai Badaruddin. Sedangkan di pihak Jenderal De Kock disertai oleh Residen Valk, Letnan Kolonel Roest, Mayor Ajudan De Stuers dan Kapten Roeps sebagai juru bicara.

Letnan Kolonel De Kock van Leeuwen, Mayor Perie dan opsir-opsir Belanda lainnya ditugaskan untuk melayani dan mengawasi pemimpin-pemimpin pasukan Diponegoro yang berada di kamar yang lain. Sedangkan letnan Kolonel Du Peron tetap berada di luar gedung keresidenan untuk setiap saat dapat melakukan penyergapan, sebagaimana telah diperintahkan oleh Jenderal De Kock.

Kolonel Cleerens yang mula-mula sekali berhasil melakukan kontak dengan Diponegoro dan berhasil merencanakan pertemuan perdamaian serta telah memberikan jaminan diplomasi penuh kepada Diponegoro dan stafnya tidak diikutsertakan bahkan tidak berada di kota Magelang tempat perundingan dilaksanakan. Dengan demikian jika terjadi pengkhianatan maka secara moral Cleerens tidak terlibat langsung, karena memang tidak hadir.

Babak pertama Jadwal perundingan, menurut Diponegoro sebagai pendahuluan untuk menjajagi materi perundingan pada babak selanjutnya, tetapi menurut Jenderal De Kock harus langsung memasuki materi Perundingan. Pembicaraan materi perundingan menjadi tegang, karena De Kock bersikeras untuk langsung membicarakan materi perundingan.

Suasana tegang dan panas itu, sampai-sampai Diponegoro terlontar ucapan: “Jika tuan menghendaki persahabatan, maka seharusnya tidak perlu adanya ketegangan di dalam perundingan ini. Segalanya tentu dapat diselesaikan dengan baik. Jikalau kami tahu bahwa, tuan begitu jahat, maka pasti lebih baik kami tinggal terus saja berperang di daerah Bagelen dan apa perlunya kami datang kemari.”

Ketika pihak Jenderal De Kock terus mendesak tentang tujuan penerangan yang telah dilakukan oleh Diponegoro selama lebih lima tahun ini, maka akhirnya ia memberi jawaban dengan tegas dan gamblang, yaitu antara lain: “Mendirikan negara merdeka di bawah pimpinan seorang pemimpin dan mengatur agama Islam di pulau Jawa”. Mendengar jawaban ini Jenderal De Kock terperanjat, karena ia tidak mengira bahwa Diponegoro akan mengajukan tuntutan semacam itu. Sewaktu De Kock memberi jawaban bahwa tuntutan semacam itu adalah terlalu berat dan tak mungkin dapat dipenuhi, Diponegoro tetap teguh pada tuntutannya.

Tanda-tanda perundingan babak pertama akan menemui jalan buntu, dan Belanda khawatir jika pe¬rundingan ditunda sampai besok, berarti kesempatan buat Diponegoro dan pasukannya untuk mengadakan konsolidasi guna menghadapi segala kemungkinan. Sesuai dengan rencana Belanda bahwa perundingan adalah semata-mata methoda untuk menangkap Diponegoro dan stafnya, maka dengan angkuhnya Jenderal De Kock berkata: “Kalau begitu, tuan tidak boleh lagi kembali dengan bebas.”

Mendengar ucapan ini, Diponegoro dengan marah menjawab : “Jika demikian, maka tuan penipu dan pengkhianat, karena kepada saya telah dijanjikan kebebasan dan boleh kembali ke tempat perjuangan saya semula, apabila perundingan ini gagal.”

Jenderal De Kock berkata lagi: “Jika tuan kembali, maka peperangan akan berkobar lagi.”

Diponegoro menjawab: “Apabila tuan perwira dan jantan, mengapa tuan takut berperang?”

Tiba-tiba Jenderal De Kock menginstruksikan kepada Letnan Kolonel Du Perron dan pasukannya untuk menyergap Diponegoro dan stafnya serta seluruh pengawalnya dilucuti. Dalam posisi tidak siap tempur, Diponegoro dan pasukannya dengan mudah ditangkap dan dilucuti. Menyadari telah tertipu, Diponegoro kemudian menyatakan diri bertanggungjawab atas pecahnya peperangan. Namun ia tetap menolak menyerah dan menyatakan lebih baik mati.

Pan wus yekti nora nana maning, Begja pinatenan, Ingsun tan nedya gumingsir.

Sesungguhnya tidak ada lagi, Sekalipun dihukum mati, Saya tidak akan menyerah.

Dalam kondisi emosional, Diponegoro sempat berpikir untuk membunuh Jenderal de kock. Namun niat tersebut ia urungkan mengingat akibatnya kurang baik.

Pan sansaya enget tyasnya Sri Bupati, Lamun matenana, Ingsun marang jendral iki, Nora becik temahira.

Terpikir oleh Sri Raja, Seandainya membunuh Jenderal, Tidak baik akhirnya.

Kesadaran itu membuatnya bersikap pasrah terhadap takdir. Ia memutuskan untuk meninggalkan Tanah Jawa karena tidak ada yang dimilikinya lagi di sana. Keputusan itu juga untuk menghormati mereka yang gugur dalam peperangan karena membela dan melaksanakan perintah.

Tujuan diponegoro mencapai cita-cita ini terus dilakukannya, meski ia tahu bahwa ia akan kalah. Bukan keberhasilan mencapai tujuan ini yang menjadi fokus utama Diponegoro. Baginya, konsisten dalam menjalani proses adalah sebuah kemenangan tersendiri.

Pada tanggal 3 Mei 1830 Diponegoro beserta stafnya (Kyai Mojo) dibawa ketempat pembuangannya di Menado. Tidak kurang dari 19 orang yang terdiri dari keluarga dan stafnya ikut dalam pembuangan di Menado. Pada tahun 1834 Diponegoro beserta keluarga dan stafnya dipindahkan ke kota Makasar. Dan pada tanggal 8 Januari 1855 Diponegoro wafat dalam usia kira-kira 70 tahun, setelah menjalani masa tawanan selama duapuluh lima tahun.

Perang ini juga memberi dampak yang cukup dahsyat pada keluarga dan keturunan Diponegoro. Bertahun-tahun lamanya keluarga Pangeran Diponegoro dikucilkan dan diasingkan oleh kalangan keraton karena tindakan perjuangan perlawanan Pangeran Diponegoro tersebut. Kondisi ini baru pulih setelah Diponegoro mendapatkan pengakuan sebagai Pahlawan Nasional pada tanggal 6 November 1973.

Pasca kemenangan di perang Diponegoro, Belanda mulai melakukan demiliterisasi di kalangan masyarakat Jawa. Kekhawatiran terhadap munculnya jiwa keprajuritan bangsa Jawa membuat pemerintah kolonial Hindia Belanda mengeluarkan strategi baru. Untuk melemahkan kekuatan Jawa, selain diadakan tanam paksa, pasukan keraton juga di demobilisasikan.

Selanjutnya, keraton dipisahkan dari rakyat dengan cara menghapus tanah lungguh para bangsawan/pejabat keraton dan juga menghapus tanah-tanah mancanegara. Dengan dihapusnya tanah lungguh, berarti para bangsawan tidak lagi memiliki basis di pedesaan. Akibat lebih jauh, tradisi dan potensi militer kerajaan menjadi lumpuh. Semangat, kemampuan, dan keterampilan prajurit terus merosot.

Terlebih lagi dengan dihapusnya tradisi Seton (pisowanan hari Sabtu) pada masa pemerintahan Pakubuwono VII (1830-1858) di Surakarta. Sejak itu, prajurit Jawa benar-benar kehilangan arena berlatih yang juga sekaligus ajang pencarian bakat militer. Untuk semakin menggerus jiwa keprajuritan bangsa Jawa, satu-satunya kerajaan yang diberi kesempatan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk memelihara tentara yang agak lengkap hanya Mangkunegaran, yang dinilai loyal dan tidak membahayakan. Di tengah kebuntuan perkembangan militer secara fisik, Belanda juga mengembangkan konsep ksatria Jawa, yang aktualisasinya tidak lagi berhubungan dengan organisasi kemiliteran. Sejalan dengan ide kepriyayian, maka ide kstaria yang ditanamkan lewat wayang dan piwulang itu lebih ditekankan pada segi moral dan etika.

Sejak itu, dunia keprajuritan Jawa hidup dalam bayangan. Kebesaran, kemegahan, keperkasaan prajurit dan ksatria Jawa hanya tinggal kenangan, yang tersimpan dalam catatan sejarah, naskah babad, kronik, atau cerita tutur, tempat bangsa Jawa bernostalgia pada kebesaran masa lampau. Aliran darah prajurit dan tradisi ksatria pada bangsa Jawa seolah-olah lenyap tinggal bekas-bekasnya

Kesimpulan


Dalam ranah sejarah strategi militer, perang Diponegoro ini meninggalkan jejak sejarah yang monumental. Penerapan taktik strategi militer Stelsel Benteng yang memadukan antara manuver kolone dengan pembangunan benteng, disertai dengan strategi Blokade Politik, Isolasi Politik, politik Belah Bambu, Politik Adu Domba, dibarengi penelitian sosio-budaya oleh ilmuwan orientalis, oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk selanjutnya terus dipakai untuk memandamkan perlawanan pemberontakan di berbagai pelosok Nusantara. Termasuk pula di antaranya untuk menjinakkan perlawanan rakyat Aceh.

Perang Diponegoro ini pada hakekatnya adalah manifestasi dari konflik laten di antara bangsawan Jawa, sebuah Permanent Warfare yang beraspek politik dan budaya. Kekalahan Pangeran Diponegoro bermakna ideologis di mana gagalnya realisasi gagasan Pangeran Diponegoro membentuk Balad Islam dan menjadi Khalifah Islam di tanah Jawa. Diskursus tentang negara (balad) Islam di tanah Jawa sudah ada dari jaman Pangeran Diponegoro. Bahkan bukan sekadar wacana, melainkan bagaimana untuk mempertahankannya.

Perang Jawa yang dahsyat dan penuh patriotisme telah digerakkan dan dipimpin oleh tokoh-tokoh pejuang Islam, yang hampir sebagian terbesar berideologi Islam dan bertujuan berdirinya negara merdeka yang berdasarkan Islam. Fakta-fakta sejarah yang terungkap, baik latar belakang yang mewarnai para tokoh Perang Jawa, masa peperangan yang memakan waktu lima tahun lebih, yang diisi dengan menegakkan syari’at Islam di dalam kehidupan pasukan Diponegoro sampai pada saat perundingan dengan Belanda serta tujuan yang akan dicapai, semuanya adalah bukti yang kuat bahwa Diponegoro dan pasukannya telah melakukan perjuangan politik Islam untuk mendirikan negara Islam di tanah Jawa.

Kegagalan yang diderita oleh Diponegoro dan pasukannya, bukan karena tujuan dan metodenya yang salah, tetapi karena kekuatan yang tak seimbang, baik manpower, persenjataan, perlengkapan dan pengkianatan bangsa sendiri yang sebagian besar membantu Belanda yang kafir; disamping tipu muslihat yang licik dan keji yang dilakukan oleh penguasa kolonial Belanda.

Tipu muslihat yang licik dan keji, yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang bermoral rendah dan jahat, ternyata telah menjadi watak kepribadian penguasa kolonial Barat di Indonesia, baik Portugis-Kristen Katholik maupun Belanda-Kristen Protestan.

Jika sekarang diskursus tentang negara Islam kembali hangat, mestinya umat tidak perlu merasa heran. Berarti ada yang memelihara kesinambungan perjuangan islam di tanah Jawa sesudahnya, sebagai sebuah upaya rekonstruksi sejarah dan mengembalikan visi dan misi Islam kembali ke jalurnya. Yang harus menjadi pertanyaan adalah siapa yang menjadi pelanjut perjuangan itu kini?



HALAMAN 1 BERANDA