NEWS UPDATE : SITUS "PP NURUL MUSTHOFA" SEKARANG SUDAH BISA DI AKSES VIA APLIKASI ANDROID. TUNGGU UPDATE DARI KAMI. SECEPATNYA AKAN KAMI UNGGAH APK NYA UNTUK DI DOWNLOAD,,, TERIMA KASIH
INFO UPDATE
KLIK DI SINI !!
×

INFO UPDATE

  • SAMPLE ATAM 1
  • SAMPLE ATAM 2
  • SAMPLE ATAM 3

MUHAMMAD ATAMMUN NI'AM

Ruang khusus info, pengumuman dan pemberitahuan seputar Pondok Pesantren

NURUL MUSTHOFA
Pasir - Mijen - Demak

SEKIAN TERIMA KASIH

Tuesday, December 26, 2017

MBAH SHOLEH DARAT SEMARANG

KH Muhammad Shalih bin Umar as-Samarani, terkenal dan akrab dengan nama KH Saleh Darat, adalah ulama terkemuka di peralihan abad 20 yang menjadi guru para ulama Jawa terkemuka generasi berikutnya.

Selain itu, ia juga dikenal sebagai penulis prolifik kitab-kitab keagamaan beraksara Arab dalam Bahasa Jawa. Kiai Saleh Darat adalah putera Kiai Umar, yang seperti Kiai Maja, merupakan pejuang dan penasehat keagamaan Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa.

Ia dilahirkan di Kedung Jumbleng, Mayong, Jepara sekitar tahun 1820. Pelajaran agamanya yang awal diperolehnya dari ayahnya sendiri, dan dilanjutkan berguru kepada beberapa ulama, antara lain: KH Muhammad Syahid (Kajen, Pati), KH Raden Muhammad Shalih bin Asnawi (Kudus), Kiai Ishak Damaran (Semarang), Kiai Abu Abdillah Muhammad al-Hadi bin Baquni (Semarang), Ahmad Bafaqih Ba`alwi (Semarang), dan Syekh Abdul Ghani Bima (Semarang).

Ketika Diponegoro ditangkap dan perlawanannya dihancurkan oleh Belanda, Kiai Umar beserta anak lelakinya Saleh, melarikan diri ke Singapura dan kemudian ke Makkah. Selanjutnya di kota suci ini Saleh mempelajari Islam hingga bertahun-tahun. Teman seangkatannya adalah Syeikh Nawawi Banten dan Syaikhuna Cholil Bangkalan.

Dalam kitab Al-Mursyid al-Wajiz yang ditulisnya, tersebut nama-nama gurunya ketika belajar di Mekkah antara lain: Syekh Muhammad al-Maqri al-Mashri al-Makki, Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasballah, Sayid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syekh Ahmad al-Nahrawi al-Mishri al-Makki, Sayid Muhammad Shalih az-Zawawi al-Makki, Syekh Zaid, Syekh Umar al-Syami, Syekh Yusuf as-Sanbalawi al-Mashri, dan Syekh Jamal.

Sekembali dari Makkah, Kiai Saleh diambil menantu oleh Kiai Murtadha, salah seorang kiai terkemuka zaman itu, dan kemudian membuka sebuah pesantren di Kampung Mlayu Darat, Semarang. Dari sinilah asal nama ‘Darat’ yang disematkan kepadanya.

Santri-santrinya yang berjumlah ratusan datang baik dari Semarang sendiri maupun daerah-daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur lainnya seperti Kendal, Pekalongan, Demak, Rembang, Salatiga, Yogyakarta, Tremas dan lainnya.

Beberapa santrinya menjadi tokoh dan ulama terkemuka di paro pertama abad 20 seperti KH Hasyim Asy`ari (Tebuireng Jombang, pendiri NU), KH Ahmad Dahlan (Yogyakarta, pendiri Muhammadiyah), KH Mahfuzh (Tremas), KHR Dahlan (Tremas), Kiai Amir (Pekalongan), Kiai Idris (Surakarta), KH Abdul Hamid (Kendal), Kiai Khalil (Rembang), Kiai Penghulu Tafsir Anom (Kraton Surakarta). Tak berlebihan jika beliau disebut sebagai ‘guru ulama Jawa.’

Kitab-kitab yang ditulis oleh Kiai Saleh semuanya menggunakan Bahasa Jawa pesisiran atau istilah di dalam kitabnya ditulis al-Lughah al-Jawiyyah al-Merikiyyah (Bahasa Jawa Setempat), dan sebagian besar merupakan karya saduran dan terjemahan atau khulashah (ringkasan) dari suatu kitab.

Seperti ditulis di bagian akhir dalam salah satu kitabnya, Majmu’ah asy-Syari’ah al-Kafiyatu lil ‘Awam, ‘...kerono arah supoyo pahamo wong-wong amsal ingsun awam kang ora ngerti boso Arab muga-muga dadi manfaat bisa ngelakoni kabeh kang sinebut ing njeroni iki tarjamah...,” kitab-kitab yang ditulis Kiai Saleh jelas ditujukan untuk kalangan yang tidak mengerti Bahasa Arab.

Kiai Saleh menerjemah, menyadur dan meringkas kitab-kitab besar seperti Ihya ‘Ulumuddin karya al-Ghazali atau Matan al-Hikam karya Ahmad bin `Athaillah al-Iskandari untuk disajikan ke pembelajar awam dan tidak mengerti bahasa Arab tersebut. Saduran dan ringkasan yang dibuat Kiai Saleh sangat padat, ringkas, dan mengena. Tidak aneh kalau hingga sekarang pun sebagian dari kitab-kitabnya masih dicetak oleh Karya Toha Putera, Semarang, dan itu artinya masih terus dibaca dan dipelajari, terutama di daerah Jawa Tengah pesisiran.

Dalam kitab-kitabnya, namanya ditulis secara resmi sebagai “As-Syaikh Haji Muhammad Saleh bin Umar As-Samarani.” Sebagai penghormatan, mendahului namanya juga diterakan sebutan “As-Syaikh al-‘Alim al-‘Allamah wal Bahrul Fahhamah (Sang Guru Besar yang Alim, Teramat Alim dan Memiliki Lautan Pengetahuan).”

Di dalam kitab-kitabnya, Kiai Saleh dengan terbuka dan kerendahan hati senantiasa menyebut bahwa ia hanya menghimpun, meringkas, dan menerjemah suatu kitab jika memang demikian adanya: “...metik saking Ihya ‘Ulumuddin Al-Ghazali (diambil dari Ihya ‘Ulumuddin Al-Ghazali),” demikian ia tulis disampul kitabnya Kitab Munjiyat.

Tercatat ada duabelas kitab yang dinisbatkan dengan nama Kiai Saleh, yaitu: Majmu`atusy Syari`at al-Kafiyah li al-`Awam (Himpunan hukum syariat bagi orang awam), Kitab Munjiyat (Kitab Ilmu Jiwa dipetik dari Ihya’ `Ulum ad-Din), Matan al-Hikam (Kitab Hikmah diambil dari karya Ahmad bin `Athaillah al-Iskandari).

Kemudian Latha’ifuth Thaharah wa Asrar ash-Shalah (Rahasia dan hakikat salat dan puasa), keutamaan bulan Muharram termasuk `Asyura, keutamaan bulan Rajab dan keutamaan bulan Sya`ban; Manâsik al-Hajji wa al-‘Umrah (Tata Cara Haji dan Umrah); Kitab Pasolatan (Kitab tentang Shalat).

Sabilul Abid `ala Jauharatit Tauhid (Kitab Tauhid [ketuhanan] yang merupakan terjemahan dari kitab tauhid karya Ibrahim Laqqani); Al-Mursyid al-Wajiz (kitab tentang Al-Qur’an); Haditsul Mi`raj (kitab mengenai Isra Mi’raj); Kitab al-Mahabbah wa al-Mawaddah fi Tarjamah Qaul al-Burdah fi al-Mahabbah wa al-Madh ‘ala Sayyid al-Mursalin (Syarah atas kitab Maulid al-Burdah karya Muhammad bin Sa`id al-Bushiri [1212-1296 H.]; Faidh ar-Rahmân fi Tarjamah Tafsir Kalam al-Malik al-Dayyan (Tafsir Quran); dan Minhaj al-Atqiya’ fi Syarh Hidayat al-Adzkiya’ ila Thariq al-Auliya’ (Syarah atas kitab Hidayatul Adzkiya’ ila Thariq al-Auliya’ karya Zainuddin bin `Ali al-Malibari [872-928 H.]). Tiga dari karyanya yang diambil dari Al-Ghazali, Ibn `Ata'illah dan Zainuddin al-Malibari, menunjukkan bahwa Kiai Saleh memiliki kecenderungan pada pengajaran tasawuf, meski ia juga menulis topik-topik yang lain. Kehidupannya yang sangat sederhana membuatnya dikenal sebagai seorang sufi sejati. Tak aneh kalau di kalangan ulama Jawa yang lebih muda, Kiai Saleh dijuluki sebagai 'Ghazali Kecil’ (al-Ghazali al-Saghir).

Kiai Saleh Darat juga dianggap sebagai guru R. A. Kartini, pengobar perjuangan perempuan di Indonesia yang terus dikenang hingga kini. Dalam suatu riwayat diceritakan bahwa seusai mengikuti pengajian tafsir al-Fatihah yang diberikan oleh Kiai Saleh Darat di Pendopo Agung Demak, Kartini secara halus meminta Kiai Saleh untuk menerjemahkan Al-Qur'an ke dalam Bahasa Jawa agar Al-Qur'an lebih bisa dimengerti kalangan awam.

Di antaranya, atas dasar permintaan Kartini itulah, Kiai Saleh menulis kitab Faidlur Rahman fi Tarjamah Tafsir Kalam al-Malik al-Dayyan pada tahun 1312 H/1894 M, kitab yang berisi tafsir Al-Quran dalam Bahasa Jawa.

Ketika Kartini menikah, Kiai Saleh Darat menghadiahkan kepadanya terjemahan Al-Qur'an juz pertama. Berkat terjemahan ini, Kartini, yang sebelumnya memandang Al-Quran sebagai kitab yang hanya dimonopoli pengertiannya oleh para ulama saja, mengaku menjadi lebih memahami dan mencintai Al-Quran. Sayang, tafsir Al-Quran pertama dalam Bahasa Jawa ini hanya sempat ditulis hingga juz enam karena Kiai Saleh Darat keburu wafat.

Kiai Saleh dikenal memiliki sikap politik yang anti-Belanda yang tercermin dalam banyak karyanya. Ia mengajarkan murid-muridnya untuk sebisa mungkin menghindari Belanda dan memperingatkan mereka untuk tidak meniru-niru cara hidup Belanda.

Dalam kitabnya, Majmu`at al-Shari`at al-Kafiyya li-l-`awam, ia menyatakan haram hukumnya bagi umat Islam menggunakan pakaian Eropa seperti jas dan dasi. Jika pun tidak bisa dihindarkan lagi harus datang ke kantor pemerintah, Kiai Saleh menyarankan agar yang bersangkutan masuk dengan kaki kiri terlebih dulu sebagaimana memasuki toilet dan tempat-tempat sejenis lainnya.

Karena itu, tidak aneh kalau sekali waktu Kiai Saleh pernah dicurigai memiliki hubungan dengan para aktivis politik. Pada tahun 1883, Konsul Belanda di Jeddah melaporkan bahwa Kiai Saleh pernah meminta Sultan Turki Ustmani untuk menghancurkan dominasi Belanda di Jawa.

Kiai Saleh wafat di Semarang pada 28 Ramadhan 1321 H. bertepatan dengan 18 Desember 1903, dalam usia 83 tahun, dan dimakamkan di Pemakaman Umum Bergota, Semarang.




pada suatu hari KH Sholeh Darat yang sudah kembali dari Mekah dan tinggal di nDarat Semarang kedatangan tamu seorang tokoh yang terkenal sakti asal Jawa Timur. Si tokoh sudah biasa dipanggil kiai.

Tamu tersebut datang di malam hari. Karena Kiai Sholeh sedang mengajar ngaji, seorang santri mempersilakan sang tamu menunggu di serambi langgar seraya disuguhi minuman. Langgar yang dibangun oleh mertua Mbah Sholeh, Kiai Murtadho, itu berbentuk panggung dan terbuat dari kayu jati.

Usai mengaji, Mbah Sholeh menemui tamunya tersebut.

"Jenengan tindhak mriki nithih napa (Anda datang ke sini naik apa?)," tanya tuan rumah kepada si tamu.

"Numpak macan (naik harimau)," jawab si tamu dengan nuansa pamer. Maklum saat itu tunggangan yang biasa dipakai orang umum adalah kuda.

"Lho, dicancang teng pundi macane (diikat di mana harimau itu?)"

"Saya ikat di luar pagar sana itu. Khawatir menakuti santri-santri jenengan."

Mbah Sholeh hanya tersenyum. Lantas menyuruh santrinya menuntun macan besar tunggangan tamunya itu. Santri nDarat ternyata sama sekali tidak takut pada macan.

"Masukkan kandang, Kang. Biar tidak kedinginan atau kehujanan," perintah Mbah Sholeh kepada santrinya.

Mengatahui bahwa yang dimaksud adalah kandang kambing, si tamu jadi khawatir.

"Jangan dimasukkan kandang, Mbah. Nanti kambing jenengan dimakan sama macan saya," ujarnya yang hanya ditimpali senyum sang tuan rumah.

"Tak apa-apa. Kambing saya akan aman kok," jawab Mbah Sholeh seraya menggamit tangan si tamu untuk menenangkannya. Lalu dipersilakan menuju kamar untuk dipersilakan istirahat.

Sebelum tidur malam itu, si tamu membayangkan macannya pasti telah menerkam kambing-kambing milik Mbah Sholeh dan esoknya akan ada banyak bangkai. Namun karena kelelahan, matanya segera terpejam.

Pagi hari usai diajak berbincang dan dijamu makanan oleh tuan rumah, dia bergegas menengok ke kandang. Betapa terperanjatnya dia, bukan bangkai kambing yang ditemukan, malah macannya yang mati. Tergeletak kaku di samping barisan kambing yang riuh mengembik.

"Mbeeek... Mbeeekkk...” suara kambing gaduh seperti meminta bangkai macan segera disingkirkan. Seekor kambing powel yang jenggotnya panjang, mulutnya tampak merah. Diduga kuat, si kambing itulah yang membunuh si macan.

Akhirnya si tamu meminta maaf dan menyesali kesombongannya. Dia menyadari betapa rendah ilmunya dibanding sang kiai yang pernah jadi qadhi di Mekah dan menjadi mahaguru dari gurunya para ulama Nusantara ini.

BERANDA