NEWS UPDATE : SITUS "PP NURUL MUSTHOFA" SEKARANG SUDAH BISA DI AKSES VIA APLIKASI ANDROID. TUNGGU UPDATE DARI KAMI. SECEPATNYA AKAN KAMI UNGGAH APK NYA UNTUK DI DOWNLOAD,,, TERIMA KASIH
INFO UPDATE
KLIK DI SINI !!
×

INFO UPDATE

  • SAMPLE ATAM 1
  • SAMPLE ATAM 2
  • SAMPLE ATAM 3

MUHAMMAD ATAMMUN NI'AM

Ruang khusus info, pengumuman dan pemberitahuan seputar Pondok Pesantren

NURUL MUSTHOFA
Pasir - Mijen - Demak

SEKIAN TERIMA KASIH

Friday, February 2, 2018

SYEKH ABDUL MUHYI PAMIJAHAN

MANAQIB SYEKH ABDUL MUHYI



Nasab Beliau


Syekh Abdul Muhyi adalah Ulama tarekat Syattariah, penyebar agama Islam di Jawa Barat tepatnya bagian selatan. Karena dipandang sebagai wali, makamnya di Pamijahan di keramatkan orang.

Abdul Muhyi datang dari keluarga bangsawan. Ayahnya, Sembah Lebe Warta Kusumah, (Abdul Jalil) adalah keturunan raja Galuh (Pajajaran). Ibundanya Dewi Tangaziyah yang masih keturunan Sunan Giri. Abdul Muhyi di lahirkan di Mataram dan dibesarkan di Ampel, Surabaya, Jawa Timur. Pendidikan agama Islam pertama kali diterimanya dari ayahnya sendiri dan kemudian dari para ulama yang berada di Ampel.

Dalam usia 19 tahun, ia berangkat ke Kuala, Aceh, untuk melanjutkan pendidikannya dan berguru pada Syekh Abdur Rauf Singkel, seorang ulama sufi dan guru tarekat Syattariah. Syekh Abdur Rauf Singkel adalah ulama Aceh yang berupaya mendamaikan ajaran "Martabat Alam Tujuh" yang dikenal di Aceh sebagai paham Wahdatul Wujud atau Wujudiyyah (Panteisme dalam Islam) dengan paham sunah. Meskipun begitu Syekh Abdur Rauf Singkel tetap menolak paham wujudiyyah yang menganggap adanya penyatuan antara Tuhan dan hamba. Ajaran inilah yang kemudian dibawa Syekh Abdul Muhyi ke Jawa.

Masa studinya di Aceh dihabiskannya dalam waktu 6 tahun. Setelah itu bersama teman-teman seperguruannya, ia dibawa oleh gurunya ke Baghdad untuk memperdalam ilmu dan berziaroh ke Makam Syaikh Abdul Qodir Al Jailani. Dan kemudian ke Mekah untuk lebih memperdalam ilmu pengetahuan agama dan menunaikan ibadah haji. Sewaktu di Makkah beliau mimpi bertemu Rosululloh SAW yang memerintah kan agar pulang ke tanah jawa dan mencari goa tempat sidang walisongo dan juga tempat yang pernah untuk uzlah Syaikh Abdul Qodir Al Jailani.

Mencari Sebuah Goa


Setelah menunaikan ibadah haji, Syekh Abdul Muhyi kembali ke tanah jawa dan menikah, hari demi hari dilalui dengan baik. Hingga suatu ketika beliau ingat pesan Rosululloh dalam mimpi agar mencari sebuah Goa. Dan beliau meninggalkan Ampel untuk ke Mataram menghadap Raja serta orang tuanya yang menjadi pejabat di Mataram. Setelah menyampaikan maksud dan di terima serta diijinkan Syekh Abdul Muhyi segera mulai melakukan pengembaraan ke arah barat bersama isteri dan dan di temani beberapa prajurit yang di perintah kan untuk Mengawal.

Suatu ketika Rombongan itu tiba di Lebaksiu. Syekh berkenan untuk Riyadhoh mencari petunjuk dimana Goa yang di cari berada. Setelah mendapat kan petunjuk syekh pun melanjutkan perjalanan ke arah barat dan mereka kemudian tiba di Darma, termasuk daerah Kuningan, Jawa Barat. Atas permintaan masyarakat muslim setempat, ia menetap di sana selama tujuh tahun untuk mendidik masyarakat dengan ajaran Islam.

Sementara di Mataram Kedua Orang tua Syekh gelisah dan meminta ijin pada Sultan untuk menyusul Sang Anak. Dan akhirnya mereka bertemu di daerah Darma. Dan ikut menetap di tempat tersebut. Dikarenakan harus meneruskan perjalanan syekh berkenan meninggalkan beberapa prajurit yang telah menguasai ilmu agama untuk menetap di Darma guna berdakwah di wilayah tersebut.

Setelah itu ia kembali mengembara dan sampai ke daerah Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat. Ia mentap di Pameungpeuk selama 1 tahun untuk menyebarkan agama Islam di kalangan penduduk yang ketika itu masih menganut agama nenek moyang.

Setelah itu rombongan bergegas untuk melanjutkan perjalanan dan pada suatu ketika Ayahanda Syekh (Abdul Jalil) jatuh sakit dan rombongan terhenti dan membuat pemukiman sementara. Banyak warga yang berdatangan untuk belajar, hingga suatu hari ayahnya meninggal dunia dan dimakamkan tempat tersebut dan di beri nama kampung Dukuh, di tepi Kali Cikangan. Dan di atur untuk ada yang tinggal di tempat tersebut untuk menjaga makam serta mengajarkan agama. Beberapa hari setelah pemakaman ayahnya, ia melanjutkan pengembaraannya hingga ke daerah Batuwangi.

Ia bermukim beberapa waktu di sana atas permintaan masyarakat. Setelah itu ia ke Lebaksiuh, tidak jauh dari Batuwangi. Lagi-lagi atas permintaan masyarakat ia bermukim di sana selama 4 tahun pada masa empat tahun itu ia berjasa mengislamkan penduduk yang sebelumnya menganut agama Hindu. Menurut cerita rakyat, keberhasilannya dalam melakukan dakwah Islam terutama karena keramatnya yang mampu mengalahkan aliran hitam. Di sini Syekh Abdul Muhyi mendirikan masjid tempat ia memberikan pengajian untuk mendidik para kader yang dapat membantunya menyebarkan agama Islam lebih jauh ke bagian selatan Jawa Barat. Setelah empat tahun menetap di Lebaksiuh, tidak lama dari itu Syekh bisa menemukan goa yang di kisahkan lewat mimpi dan setelah itu lebih memilih bermukim di dalam gua untuk mengajar dan bersuluk. Goa tersebut yang sekarang dikenal sebagai Goa Safar Wadi di Pamijahan, Tasikmalaya, Jawa Barat.

Goa Safar Wadi


Goa yang sekarang di kenal dengan nama Goa Pamijahan adalah warisan dari Syekh Abdul Qodir Al Jailani yang hidup lebih dari 200 tahun sebelum Syekh Abdul Muhyi. Gua ini terletak diantara kaki Gunung Mujarod. Sejak goa ditemukan Syekh Abdul Muhyi bersama keluarga beserta santri-santrinya bermukim disana. Disamping mendidik santrinya dengan ilmu agama, beliau juga menempuh jalan tharekat.

Menurut pendapat yang masyhur sampainya Syekh Abdul Muhyi ke derajat kewalian melalui thoriqoh Mu’tabaroh Satariyah, yang silsilah keguruan/ kemursyidannya sampai kepada Rasulullah Saw.

Berikut Silsilahnya:

Rasululah Saw
Ali Bin Abi Tholib
Sayyidina Hasan
Sayyidina Zainal Abidin
Imam Muhammad Bakir
Imam Ja’far Shodiq
Sultan Arifin
Yazidiz Sulthon
Syeikh Muhammad Maghribi
Syeikh Arabi Yazidil Asyiq
Sayyid Muhammmad Arif
Syeikh Abdulah Satari
Syeikh Hidayatullah Syarmad
Syeikh Haji Hudori
Sayyid Muhammmad Ghoizi
Sayyid Wajhudin
Sayyid Sifatullah
Sayyidina Abdi Muwhib Abdulah Ahmad
Syeikh Ahmad Bin Muhammmad (Ahmad Qosos)
Syeikh Abdul Rouf
Syekh Abdul Muhyi.

Sekian lama mendidik santrinya di dalam goa, maka tibalah saatnya untuk menyebarkan agama Islam di perkampungan penduduk. Di dalam perjalanan, sampailah di salah satu perkampungan yang terletak di kaki gunung, bernama kampung Bojong. Selama bermukim di Bojong dianugerahi beberapa putra dari istrinya, Ayu Bakta. Diantara putra beliau adalah Dalem Bojong, Dalem Abdullah, Media Kusumah, Pakih Ibrahim.

Menurut salah satu riwayat lisan, kehadirannya di Gua Safar Wadi itu adalah atas undangan bupati Sukapura yang meminta bantuannya untuk menumpas aji-aji hitam Batara Karang di Pamijahan. Di sana terdapat sebuah gua tempat pertapaan orang-orang yang menuntut aji-aji hitam itu. Syeikh Haji Abdul Muhyi memenangkan pertarungan melawan orang-orang tersebut hingga ia dapat menguasai gua itu. Ia menjadikan gua itu sebagai tempat pemukiman bagi keluarga dan pengikutnya, di samping tempat ia memberikan pengajian agama dan mendidik kader-kader dakhwah Islam. Gua tersebut sangat sesuai baginya dan para pengikutnya untuk melakukan semadi menurut ajaran tarekat Syattariah. Sekarang gua tersebut banyak diziarahi orang sebagai tempat mendapatkan “berkah”. Syekh Haji Abdul Muhyi juga bertindak sebagai guru agama Islam bagi keluarga bupati Sukapura, bupati Wiradadaha IV, R. Subamanggala.

Setelah sekian lama bermukim dan mendidik para santrinya di dalam gua, ia dan para pengikutnya berangkat menyebarkan agama Islam di kampung Bojong (sekitar 6 km dari gua, sekarang lebih dikenal sebagai kampung Bengkok) sambil sesekali kembali ke Gua Safar Wadi. Sekitar 2 km dari Bojong ia mendirikan perkampungan baru yang disebut kampung Safar Wadi. Di kampung itu ia mendirikan masjid (sekarang menjadi kompleks Masjid Agung Pamijahan) sebagai tempat beribadah dan pusat pendidikan Islam. Di samping masjid ia mendirikan rumah tinggalnya. Sementara itu, para pengikutnya aktif menyebarkan agama Islam di daerah Jawa Barat bagian selatan. Melalui para pengikutnya, namanya terkenal ke berbagai penjuru jawa Barat.

Syeikh Maulana Mansur berulang kali datang ke Pamijahan untuk berdialog dengan Syeikh Haji Abdul Muhyi. Syeikh Maulana Mansur adalah putra Sultan Abdul Fattah Tirta yasa dari kesultanan Banten. Sultan Tirtayasa sendiri adalah keturunan Maulana Hasanuddin, sultan pertama kesultanan Banten yang juga putra dari Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati, salah seorang Wali Songo.

Berita tentang ketinggian ilmunya sampai ke Mataram kemudian Sultan mengutus beberapa putra putri Untuk belajar pada Syekh Di Pamijahan Ketika itu bahkan menjanjikan akan memberi piagam yang memerdekakan daerah Pamijahan dan menjadikannya daerah “perdikan”, daerah yang dibebaskan dari pembayaran pajak. Berdasarkan keputusan sultan Mataram itulah, oleh pemerintah kolonial Belanda, melalui keputusan residen Priangan, Pamijahan sejak tahun 1899 dijadikan daerah “pasidikah”, daerah yang dikuasai secara turun temurun dan bebas memungut zakat, pajak, dan pungutan lain untuk keperluan daerah itu sendiri.

Makam Syekh Abdul Muhyi yang terdapat di Pamijahan diurus dan dikuasai oleh keturunannya. Makamnya itu ramai diziarai orang sampai sekarang karena dikeramatkan. Sampai saat ini desa Pamijahan dipimpin oleh seorang khalifah, jabatan yang diwariskan secara turun-temurun, yang juga merangkap sebagai juru kunci makam dan mendapat penghasilan sedekah dari para peziarah.

Karya tulis Syekh Abdul Muhyi yang asli tidak ditemukan lagi. Akan tetapi ajarannya disalin oleh murid-muridnya, di antaranya oleh putra sulungnya sendiri, Syekh Haji Muhyiddin yang menjadi tokoh tarekat Syattariah sepeninggal ayahnya. Syekh Haji Muhyiddin menikah dengan seorang putri Cirebon dan lama menetap di Cirebon. Ajaran Syekh Abdul Muhyi versi Syekh Haji Muhyiddin ini ditulis dengan huruf pegon (Arab Jawi) dengan menggunakan bahasa Jawa (baru) pesisir. Naskah versi Syeikh Haji Muhyiddin itu berjudul Martabat Kang Pitutu (Martabat Alam Tujuh) dan sekarang terdapat di museum Belanda.

Martabat Alam Tujuh


Ajaran “Martabat Alam Tujuh” ini berawal dari ajaran tasawuf wahdatul wujud (kesatuan wujud) yang dikembangkan oleh Ibnu Arabi. Tidak begitu jelas kapan ajaran ini pertama kali masuk ke Indonesia. Yang jelas, sebelum Syekh Haji Abdul Muhyi, beberapa ulama sufi Indonesia sudah ada yang menulis ajaran ini, seperti Hamzah Fansuri,Syamsuddin as-Sumatrani dan Abdur Rauf Singkel, dengan variasi masing-masing. Oleh karena itu sangat lemah untuk mengatakan bahwa karya Syekh Haji Abdul Muhyi yang berjudul Martabat Kang Pitutu ini sebagai karya orsinilnya, tetapi besar kemungkinan berupa saduran dari karya yang sudah terdapat sebelumnya dengan penafsiran tertentu darinya.

Menurut ajaran “Martabat Alam Tujuh”, seperti yang tertuang dalam Martabat kang Pitutu, wujud yang hakiki mempunyai tujuh martabat, yaitu:

1. Ahadiyyah, hakikat sejati Allah Swt.
2. Wahdah, hakikat Muhammad Saw.
3. Wahidiyyah, hakikat Adam As.
4. Alam Arwah, hakikat nyawa.
5. Alam Misal, hakikat segala bentuk.
6. Alam Ajsam, hakikat tubuh.
7. Alam Insan, hakikat manusia.

Kesemuanya bermuara pada yang satu, yaitu Ahadiyyah, Allah Swt. Dalam menjelaskan ketujuh martabat ini Syekh Haji Abdul Muhyi pertama-tama menggaris bawahi perbedaan antara Tuhan dan hamba, agar -sesuai dengan ajaran Syekh Abdur Rauf Singkel- orang tidak terjebak pada identiknya alam dengan Tuhan. Ia mengatakan bahwa wujud Tuhan itu qadim (azali dan abadi), sementara keadaan hamba adalah muhdas (baru). Dari tujuh martabat itu, yang qadim itu meliputi martabatAhadiyyah, Wahdah, dan Wahidiyyah, semuanya merupakan martabat-martabat “keesaan” Allah Swt. yang tersembunyi dari pengetahuan manusia. Inilah yang disebut sebagai wujudullah. Empat martabat lainnya termasuk dalam apa yang disebut muhdas, yaitu martabat-martabat yang serba mungkin, yang baru terwujud setelah Allah Swt. memfirmankan “kun” (jadilah).

Selanjutnya melalui martabat tujuh itu Syekh Haji Abdul Muhyi menjelaskan konsep insan kamil (manusia sempurna). Konsep ini merupakan tujuan pencapaian aktivitas sufi yang hanya bisa diraih dengan penyempurnaan martabat manusia agar sedekat-dekatnya “mirip” dengan Allah Swt.

Melalui usaha Syeikh Haji Muhyiddin, ajaran martabat tujuh yang dikembangkan Syekh Abdul Muhyi tersebar luas di Jawa pada abad ke-18.

Kesaktian


Pada suatu hari Syekh Abdul Muhyi dan Maulana Mansyur berada di Makkah dan hendak pulang ke Jawa. Mereka berdua berunding, barangsiapa yang sampai dulu di Jawa hendaklah menunggu di tempat yang telah disepakati.

Syeikh Maulana Mansyur berjalan diatas bumi dan Syeikh Abdul Muhyi berjalan di bawah bumi. Masing- masing menggunakan kesaktiannya.

Ketika Syekh Abdul Muhyi berjalan di bawah laut tiba-tiba beliau kedinginan lalu berhenti. Sewaktu hendak menyalakan api untuk merokok tiba-tiba sekelilingnya menjadi gelap dikelilingi kabut dan kabut itu semakin tebal. Maka beliau teringat bahwa merokok itu perbuatan makruh dan dirinya merasa berdosa.

Akhirnya beliau segera bertaubat minta Ampunan dari Allah, seketika itu kabut hilang dan perjalananpun dilanjutkan. Dan mulai saat itu Syekh Abdul Muhyi meninggalkan rokok, bahkan bisa dikatakan mengharamkan rokok untuk dirinya sedang untuk keluarga dan pengikutnya dilarang merokok bila berdekatan dengannya. Karena itu sampai saat ini di daerah Pamijahan dilarang merokok kecuali di tempat yang telah ditentukan.

Pada suatu hari beliau jatuh sakit. Ketika malaikat maut datang menjemput Syekh Abdul Muhyi berpesan kepada istri dan putra- putrinya, "Wahai anak dan istri ku yang tersayang, hendaklah kamu sekalian bertaqwa kepada Allah, berbaktiiah kepada orang tua yang telah melahirkan dan membesarkanmu, hormati dan muliakanlah tamumu, bicaralah dengan benar, senangkanlah orang / Lain, sekalipun kamu tidak dapat menyenangkan orang janganlah berbuat yang menyusahkannya, kasihanilah orang kecil, hormatilah orang yang besar dan hargailah sesamamu. Hiduplah di dunia ini seakan mau melintasi jurang yang penuh dengan duri."

Wafat


Pada hari senin tanggai 8 Jumadil Awai tahun 1151 H/ 1730 M ba'dal sholat shubuh, belau pergi untuk selamanya menghadap Allah swt. dalam usia 80 tahun. Jenazah ulama besar ini dimakamkam di Pamijahan. Hingga saat ini banyak orang berduyun-duyun berziarah ke makamnya sambil membacakan do'a sebagai wujud kecintaan terhadap Syeikh Abdul Muhyi, seorang waliyullah yang telah berjuang menyebarkan agama Islam di tanah air dan Jawa Barat pada khususnya

Sebagian Karomah Beliau


1.Suatu hari ada orang yang dikejar-kejar sekawanan lebah, lari meminta pertolongan Syekh Haji Abdul Muhyi. Kemudian Syekh Haji Abdul Muhyi berseru kepada kelompok lebah itu, “Kenapa kalian lebah bersikap begitu kepada manusia. Apakah kalian tak mengerti di dalam tubuh manusia lahir dan batin ada lathoif laa ilaha illa Alloh !” Lebah-lebah itu langsung mati. Lalu tubuh orang itu seperti keluar asap. Ia selamat tanpa bekas luka apapun.

2. Ada seseorang membawa istrinya yang buta setelah melahirkan. Kemudian dia menemui Syekh Abdul Muhyi untuk minta kesembuhan. Oleh Syekh Abdul Muhyi mereka diajak dzikir, membaca kalimat tahlil (laa ilaha illa Alloh ) sebanyak 165 kali di masjid. Tak berapa lama wanita yang buta itu pun sembuh.

3. Di waktu yang lain seseorang membawa anak yang terkena stroke, tubuhnya mati separuh untuk menemui Syekh Abdul Muhyi. Kemudian diajak oleh Syekh Abdul Muhyi berzikir kalimat tahlil sebanyak 165 kali. Alhirnya setelah itu anak yang stroke tadi sembuh total.

4. Adalagi orang yang tidak bisa tidur selama 11 hari dan minta tolong kepada Syekh Abdul Muhyi. Orang itu juga diajak berzikir sebanyak 165 kali dan lagi-lagi orang tadi akhirnya bisa tidur.

5. Syekh Abdul Muhyi juga menolong orang lewat karomahnya untuk memperbanyak hasil panen dan ternak kerbau.

6. Syekh Abdul Muhyi juga dikenal kesaktiannya. Beliau mengalahkan dua tukang sihir sakti, dan kemudian dua penyihir itu menjadi murid-muridnya.



BERANDA