NEWS UPDATE : SITUS "PP NURUL MUSTHOFA" SEKARANG SUDAH BISA DI AKSES VIA APLIKASI ANDROID. TUNGGU UPDATE DARI KAMI. SECEPATNYA AKAN KAMI UNGGAH APK NYA UNTUK DI DOWNLOAD,,, TERIMA KASIH
INFO UPDATE
KLIK DI SINI !!
×

INFO UPDATE

  • SAMPLE ATAM 1
  • SAMPLE ATAM 2
  • SAMPLE ATAM 3

MUHAMMAD ATAMMUN NI'AM

Ruang khusus info, pengumuman dan pemberitahuan seputar Pondok Pesantren

NURUL MUSTHOFA
Pasir - Mijen - Demak

SEKIAN TERIMA KASIH

Thursday, February 1, 2018

PANGERAN DIPONEGORO

PELETAK KONSEP RATU ADIL



Putra Mahkota


Pangeran Diponegoro lahir sekitar 1785. Dengan Nama Pangeran Ontowiryo. Pangeran ini merupakan putra tertua dari Sultan Hamengkubuwono III yang memerintah pada tahun 1811 hingga 1814.Ibunya bernama, Raden Ayu Mangkarawati, yang merupakan keturunan Kyai Ageng Prampelan, ulama yang sangat disegani di masa Panembahan Senapati saat mendirikan kerajaan Mataram. Bila ditarik lebih jauh lagi, silsilahnya sampai pada Sunan Ampel Denta, salahsatu dari Walisongo di Jawa Timur. Saat masih kanak-kanak, Diponegoro diramal oleh buyutnya, Sultan Hamengkubuwono I, bahwa ia akan menjadi pahlawan besar yang merusak orang kafir.

Kondisi kraton ketika itu penuh dengan intrik dan persaingan akibat pengaruh Belanda. Sebab itulah sejak kecil Diponegoro yang bernama asli Pangeran Ontowiryo dikirim ibunya ke Tegalrejo untuk diasuh neneknya, Ratu Ageng di lingkungan pesantren. Sejak kecil, Pangeran Ontowiryo terbiasa bergaul dengan para petani di sekitarnya, menanam dan menuai padi. Selain itu ia juga kerap berkumpul dengan para santri di pesantren Tegalrejo, menyamar sebagai orang biasa dengan berpakaian wulung. Diponegoro belajar mengenai Islam kepada Kyai Taptojani, salahsatu Ulama Besar yang bermukim di dekat Tegalrejo.

Menurut laporan residen Belanda pada tahun 1805, Taptojani mampu memberikan pengajaran dalam bahasa Jawa dan pernah mengirimkan anak-anaknya ke Surakarta, pusat pendidikan agama pada waktu itu. Di Surakarta, Taptojani menerjemahkan kitab fiqih Sirat Al-Mustaqim karya Nuruddin Ar Raniri ke dalam bahasa Jawa. Ini mengindikasikan, Diponegoro belajar Islam dengan serius. Sebagai seorang yang berjiwa Islam, ia sangat rajin dan taqwa sekali hingga mendekati kesempurnaan.

Ada banyak hal tentang Diponegoro yang mencerminkan nilai-nilai Jawa desa: di sini orang berpikir tentang kekuatan fisik, kebiasaannya untuk berjalan dengan kaki telanjang (tidak hanya ketika berziarah), dan partisipasinya sekali setahun dalam panen raya padi di tanah miliknya di selatan Yogya. Kehati-hatiannya dalam menggunakan uang, yang sampai-sampai membuat terkesan orang Belanda yang kikir, dan kecermatan mengadministrasi dan mengurus tanah-tanahnya, suatu hal yang tidak umum dilakukan di kalangan keraton Jawa tengah bagian selatan pada waktu itu, juga istimewa. Begitu juga ketajaman ekspresinya, kemuakannya pada sifat angkuh dan suka pamer, kedekatannya dengan alam, dan cintanya pada binatang peliharaan. Pangeran Diponegoro sendiri menolak gelar putra mahkota dan merelakan untuk adiknya R.M. Ambyah.

Latar belakangnya adalah untuk menjadi Raja yang memutuskan dan mengangkat adalah orang Belanda. Diponegoro tidak ingin dimasukkan kepada golongan orang-orang murtad. Ini merupakan hasil tafakkurnya di Parangkusuma. Pada suatu ketika Pangeran Diponegoro bicara kepada dua teman pesantren nya. “Rakhmanudin dan kau Akhmad, jadilah saksi saya, kalau-kalau saya lupa, ingatkan padaku, bahwa saya bertekad tak mau dijadikan pangeran mahkota, walaupun seterusnya akan diangkat jadi raja, seperti ayah atau nenenda. Saya sendiri tidak ingin. Saya bertaubat kepada Tuhan Yang Maha Besar, berapa lamanya hidup di dunia, tak urung menanggung dosa.”

Pangeran Diponegoro menjelaskan tentang peranan dan tanggungjawab Ratu Adil dalam menjamin kebahagiaan dan kesejahteraan rakyatnya di masa-masa perubahan yang disebabkan oleh politik ganda dan revolusi industri di Eropa serta tatanan kolonial baru di Jawa; pentingnya mengombinasikan otoritas spiritual dan duniawi dalam sosok pemimpin. Diponegoro mengeksplorasi peranan Ratu Adil sebagai penjaga tatanan moral masyarakat, dan sebagai penjamin penghormatan atas peranan Islam dalam masyarakat Jawa. Ia juga menunjukkan nilai-nilai universal Islam sebagai sebuah agama namun tetap mengakui peran agama-agama dan sistem kepercayaan lain, khususnya pengaruh penting dari nenek moyang dan spiritual wali Jawa.

Pendidikan Diponegoro membuatnya mampu diterima di berbagai komunitas yang berbeda meliputi dunia peradilan, pedesaan, pesantren, dan mereka yang terlibat dalam perdagangan jarak jauh (termasuk Arab dan China). Pandangan dunia Diponegoro juga mencakup suatu pendapat yang sangat jelas hingga hari ini mengenai bagaimana orang-orang Muslim Jawa seharusnya hidup dalam zaman dominasi imperium Barat. Bagi Diponegoro, tidak seperti kebanyakan orang Muslim Indonesia dewasa ini, jawaban atas ini semua rupanya terletak pada menjalankan perang suci dan pengembangan karakter yang jelas tegas antara wong Islam (orang Islam), orang Eropa kapir laknatullah (kafir yang dilaknat oleh Allah), dan kapir murtad (orang Jawa yang memihak Belanda).

Diponegoro dan para komandan seniornya memberikan perhatian yang cukup detail untuk melestarikan budaya dan bahasa Jawa dalam menghadapi serangan budaya Barat dan pembentukan tatanan kolonial baru pasca Januari 1818 negara Hindia Timur Belanda. Diponegoro bersikeras pada penggunaan bahasa Jawa, khususnya kromo inggil, dan adopsi penggunaan pakaian Jawa oleh tawanan perang Belanda. Tapi dia mengombinasikan tuntutan budaya spesifik tersebut dengan analisis yang luas dan praktis pada hubungan Jawa-Belanda dengan memberikan penawaran kepada kolonialis Belanda tiga pilihan:

Pertama mereka memeluk agama Islam, dalam hal ini posisi administratif atau militer mereka akan ditingkatkan.

Kedua mereka kembali ke negara mereka di mana hubungan antara Jawa dan Belanda akan tetap sebagai saudara dan teman.

Ketiga jika mereka ingin tetap di Jawa, mereka diminta untuk membatasi diri untuk tinggal di dua kota di Pantai Utara Jawa yaitu Batavia, ibukota kolonial, dan Semarang bekas pusat Pemerintahan Pantai Utara Jawa.

Di sana mereka akan ditawarkan kesempatan untuk terus melakukan perdagangan dan hubungan komersial dengan Jawa asalkan mereka membayar produk Jawa sesuai dengan harga di pasar internasional—terutama indigo, kopi, gula dll—dan juga membayar sewa yang tepat untuk setiap tanah yang mereka tinggali atau dibangun pos perdagangan di atasnya. Visi Diponegoro melihat sebuah masa depan yang terglobalisasi, di mana Nusantara akan menjadi bagian dari jaringan perdagangan dan arus modal internasional.

Diponegoro hidup dalam suatu dunia yang semakin terbelah, antara mereka yang siap menyesuaikan diri dengan rezim Eropa yang baru dan mereka yang melihat tatanan moral Islam sebagai “bintang pedoman” dalam masyarakat yang telah kehilangan tambatan tradisionalnya. Keputusannya untuk memberontak pada bulan Juli 1825 adalah karena tuntutan keadaan waktu itu. Ia tidak punya pilihan lain. Dalam melakukannya ia benar-benar bersikap seperti ungkapan “kemuliaan kegagalan” (the nobility of failure) dalam tradisi samurai Jepang, yaitu kemampuan untuk tetap setia pada cita-cita meskipun tahu akan kalah atau menemui ajalnya.

Arti Penting Perang Jawa


Perang yang terjadi dalam satu wilayah kedaulatan negara dalam sejarah militer disebut perang kecil (small war). Pemberontakan, revolusi atau perang saudara adalah bentuk dari aksi politik dalam perang kecil. Perang kecil (Oorlog) dalam arti sebagai sebuah kampanye militer yang dilakukan oleh tentara reguler terhadap kekuatan militer bukan reguler. Formatnya digelar sebagai aksi penumpasan pemberontak (Java Oorlog, Atjeh Oorlog), penaklukan atau aneksasi wilayah, atau aksi penghukuman atas penghinaan kedaulatan.

Teori tersebut mendasari pandangan Belanda terhadap perlawanan Diponegoro dan umatnya sebagai aksi politik yang dilakukan oleh orang Jawa untuk merebut kembali kedaulatannya. Ada tiga indikasi untuk sampai pada kesimpulan tersebut:

Pertama, memiliki ideologi (ideological asset), yaitu jihad, berperang untuk mendirikan negara yang berkeadilan berdasarkan agama Islam.

Kedua, memiliki organisasi dan kondisi lingkungan yang mendukung, pemimpinnya mampu mengeksploitasi emosi masyarakat dengan tema yang abstrak.

Ketiga,“pemberontak” amat menguasai medan. Pemberontakan Diponegoro juga merupakan kelanjutan dari perang antarkelompok feodal masyarakat Jawa pada abad ke-19, yang disebut sebagai permanent warfare.

Dari aspek kultural, perang Jawa juga merupakan bentuk penolakan terhadap sistem budaya asing, termasuk sistem militer. Hal ini terlihat dalam susunan organisasi militer pasukan Diponegoro yang berkiblat pada Turki Utsmani untuk semakin menajamkan antipati terhadap budaya Barat.

Perang Jawa (1825-1830) adalah garis batas dalam sejarah Jawa dan sejarah Indonesia pada umumnya antara tatanan lama Jawa dan zaman modern. Itulah masa dimana untuk pertama kali sebuah pemerintah kolonial Eropa menghadapi pemberontakan sosial yang berkobar di sebagian besar Pulau Jawa. Hampir seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta banyak daerah lain di sepanjang pantai utara Jawa terkena dampak pergolakan itu. Dua juta orang, yang artinya sepertiga dari seluruh penduduk Jawa, terpapar oleh kerusakan perang; seperempat dari seluruh lahan pertanian yang ada, rusak; dan jumlah penduduk Jawa yang tewas mencapai 200.000 orang. Demi memastikan kemenangan pahitnya atas orang Jawa, karena banyak korban yang jatuh, Belanda harus membayar dengan sangat mahal: sebanyak 7.000 serdadu pribuminya dan 8.000 tentara asli Belanda tewas; dan biaya perang yang harus mereka keluarkan mencapai sekitar 25 juta gulden (setara dengan 2,2 miliar dolar AS saat ini).

Setelah berakhirnya perang, Belanda secara tak terbantahkan menguasai pulau Jawa dan sebuah fase baru pemerintah kolonial Belanda dimulai dengan diberlakukannya “sistem tanam paksa” (cultuur stelsel) pada tahun 1830-1870 oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch (menjabat antara 1830-1834). Kekalahan Diponegoro pada tahun 1830 membuka jalan bagi pengenalan ‘Cultivation System’ yang digulirkan oleh Johannes van den Bosch (1830-1877), dimana produk Jawa dibeli oleh negara kolonial Belanda dengan harga tetap yang rendah dan kemudian dijual di pasar dunia sesuai dengan harga internasional, sebuah sistem yang memberikan penghasilan bersih kepada Belanda sebesar 832.000.000 gulden (setara dengan USD75 miliar uang hari ini) sehingga meringankan beban transisi negara tersebut menuju ke ekonomi industri modern. Perkembangan pasca-Perang Jawa semakin membenarkan keprihatinan Diponegoro atas ketidakadilan perdagangan antara Jawa dan kekuasaan kolonial Belanda. Dengan demikian, perang ini menandai berakhirnya sebuah proses yang mematang sejak periode Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1808-1811). Termasuk perubahan sejak dari era Serikat Perusahaan Hindia Timur atau Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), 1602-1799, ketika kontak-kontak antara Batavia dan kerajaan-kerajaan di Jawa tengah bagian selatan telah terjalin diantara para pejabat setingkat duta besar sebagaimana layaknya terjadi di antara negara-negara berdaulat, menuju periode “puncak kolonial” ketika para raja akhirnya menduduki posisi sebagai bawahan atau subordinat terhadap kekuasaan kolonial Eropa.

Perang Jawa juga memberikan daya dorong untuk sebuah proses yang masih akan bergulir sendiri dalam Indonesia modern, yaitu integrasi nilai-nilai Islam ke dalam identitas Indonesia masa kini.

PERANG DIPO NEGORO



Penyiapan Kekuatan


Masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono IV adalah masa keemasan masuknya pengaruh budaya Eropa di Jawa. Pada 16 Desember 1822, Sultan Hamengkubuwono IV meninggal secara mendadak saat makan. Kemungkinan dia diracun. Kemudian pemerintah Hindia Belanda mengangkat RM Menol yang masih berusia 2 tahun sebagai Sultan Hamengkubuwono V. Tiadanya kepemimpinan yang kuat dan disegani telah membuat wibawa keraton menjadi hilang sehingga tingkah laku para pejabat pemerintahan Hindia Belanda semakin menjadi-jadi, semakin mudah keluar masuk keraton dan mengadakan hubungan gelap dengan puteri-puteri keraton. Skandal seks dan perselingkuhan merebak di kalangan keluarga para bangsawan dan keluarga kalangan keraton. Korupsi, penyalahgunaan jabatan dan pemerasan rakyat meluas. Tanah-tanah milik kerajaan (Kroonsdomein) yang subur disewakan kepada orang Eropa atau orang Cina yang mendapat dukungan dari para bangsawan keraton serta Residen pemerintah kolonial Belanda. Pungutan pajak dan pungutan bea lainnya semakin ditingkatkan—tanpa mengindahkan akibat yang semakin membebani kehidupan rakyat—dengan semakin memperbanyak gerbang pajak (Tol Poorten) yang disewakan kepada orang-orang Cina.

Hal ini membuat prihatin Pangeran Diponegoro, sehingga menginspirasikan dirinya untuk membentuk negara (balad) Islam. Pangeran Diponegoro ini merupakan anak tertua dari Sultan Hamengkubuwono III. Pangeran Diponegoro menolak diangkat menjadi Pangeran Adipati/Putera Mahkota, sebagai penggantinya dia menunjuk RM Ambyah. Penolakan dinobatkan menjadi putera Mahkota ini dikarenakan Pangeran Diponegoro kecewa terhadap ayahandanya (Sultan Hamengkubuwono III) yang dinilainya telah melakukan perbuatan durhaka terhadap orangtuanya sendiri karena membantu Belanda. Pangeran Diponegoro tidak menyetujui sikap Sultan Hamengkubuwono III yang melakukan pemakzulan terhadap kakeknya (Sultan Hamengkubuwono II) dan bersikap lemah terhadap tekanan pemerintah Hindia Belanda serta mengadopsi gaya hidup sekuler yang kebarat-baratan.

Masa muda Pangeran Diponegoro dijalaninya dengan berkelana dari masjid ke masjid dan berguru dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Kebiasaan itu membuatnya memiliki banyak guru (kyai, ulama) dan hubungan yang luas dengan komunitas santri. Pengembaraannya di kalangan komunitas santri disertai pendalamannya atas sejarah Nabi Muhammad SAW telah mengubah sikap dan gagasannya tentang masyarakatnya. Situasi dan kondisi masyarakat Jawa masa itu dipersepsikannya identik dengan masyarakat Arab jaman pra Islam. Sehingga ia merasa berkewajiban mengubahnya menjadi masyarakat Islami yang berdasarkan tuntunan Rasulullah SAW.

Gagasannya itu hanya dapat dicapai melalui perang Sabil terhadap orang kafir. Pendirian Pangeran Diponegoro semakin teguh dan secara simbolik untuk menegaskan idealisme sikapnya itu ia mulai menanggalkan pakaian Jawa dan menggantinya dengan pakaian jubah dan surban yang serba putih. “Saya bukan Diponegoro, saya adalah Ngabdul Khamid. Pergaulannya dengan yang luas dengan komunitas santri dan petani memudahkannya untuk memperoleh simpati, dukungan dan legitimasi kepemimpinan dari masyarakat, apalagi ia adalah salah seorang keturunan Sultan. Tekad untuk menegakkan hukum Islam di Jawa semakin kuat karena hubungannya yang akrab dengan para pemimpin bawahan, demang, bekel, kyai dan ulama, terutama Kyai Mlangi, Kyai Kwaron, dan Kyai Taptojani.

Pangeran Diponegoro selama 12 tahun mempersiapkan diri seandainya terjadi perang Sabil yang dicita-citakannya. Tegalrejo merupakan suatu markplaats, yaitu tempat “menjual dan membeli” gagasan, konsep ideologi, politik, kenegaraan, budaya, militer, rencana strategi dan aksi; tempat berkumpulnya pemimpin masyarakat ketika di Kesultanan Yogyakarta terjadi kekosongan kepemimpinan; Tempat Diponegoro memperoleh basis legitimasinya melalui permufakatan sukarela dari kelompok yang berkepentingan.

Diponegoro mendapatkan dukungan dari dua basis utama, yaitu dari kalangan komunitas santri dan pendukung berbasis kedaerahan. Para santri merupakan komunikator terdepan bagi penyampaian ide dan gagasan tentang negara Islam, perang sabil, dan masyarakat jahiliyyah. Mereka adalah kelompok yang memiliki jaringan luas di masyarakat. Dalam tradisi pesantren, seorang santri yang tamat belajar wajib menjalankan semacam “inisiasi”, yaitu menggembara dari satu tempat ke tempat lain, untuk mengajarkan ilmunya kepada orang lain (dakwah). Pangeran Diponegoro memanfaatkan anggota komunitas religius untuk menjaga dan memelihara kontak-kontak hubungan dengan para pendukungnya di daerah-daerah yang jauh seraya mendorong pihak-pihak lain untuk ikut bergabung dalam perang sabil. Selain komunitas santri, pendukung Diponegoro berasal dari lintas daerah, dengan tingkatan mutu tempur pasukan yang bertingkat. Menurut Diponegoro: “Penduduk Madiun bagus dalam bertahan terhadap serangan pertama, namun setelah itu mereka tidak banyak berguna. Penduduk Pajang juga terkenal pemberani, tetapi tidak lama setelah itu kondisinya sama seperti yang tadi. Penduduk Bagelen lebih baik, itu kalau bertempur di daerahnya sendiri. Jika mereka harus bertempur di luar daerahnya, mereka kalah dengan cepat. Tetapi penduduk Mataram terbaik diantara semua; mereka bertarung dengan gigih dan tahu bagaimana harus prihatin dan tabah menghadapi penderitaan akibat perang.

Setelah sekian lama mempersiapkan diri dan menggalang dukungan, pendirian Diponegoro semakin teguh setelah mengalami beberapa peristiwa yang menyinggung kehormatan pribadi dan pelanggaran terhadap norma-norma kehidupan Jawa dan Islam. Ditambah lagi beban kehidupan yang makin berat bagi masyarakat lapisan bawah. Ia akhirnya mengambil keputusan untuk berbuat sesuatu, yaitu merebut kembali pulau Jawa.

Usaha menyongsong perang Jawa dimulai dengan mempersiapkan gua Selarong sebagai tempat awal untuk konsolidasi kekuatan laskar tempur para pengikutnya, membangun pabrik-pabrik mesiu yang tersembunyi dan tersebar di beberapa tempat, antara lain: desa Geger di sebelah selatan kota Yogyakarta, daerah Gunung Kidul, desa Parakan, desa Kembangarum di daerah Kedu, Menoreh dan beberapa tempat lainnya. Menyebar telik sandi yang menyamar sebagai abdi pembantu rumah tangga, pekatik pemelihara kuda peliharaan, di lingkungan Keraton maupun di kediaman Patih Danurejo, Residen, Sekretaris Residen, Asisten Residen, para Ningrat yang dianggap sebagai sahabat para pejabat pemerintah Hindia Belanda, dan orang-orang lain yang dianggap sebagai lawan (musuh) dari cita-citanya mendirikan negara Islam, serta dilakukannya pembelian padi secara besar-besaran oleh masyarakat pada pertengahan 1825.

Kemudian pada pertengahan Juli 1825, terjadi insiden pemancangan patok batas rencana pembebasan tanah untuk pembangunan infrastruktur transportasi jalan baru dan penutupan jalan masuk ke kediamannya di Tegalrejo. Insiden itu membuat Pangeran Diponegoro merasa sudah tiba saatnya bagi dirinya untuk mengambil keputusan untuk berbuat sesuatu dengan memobilisasi kekuatan pasukan laskar tempur sebagai awal Perang Sabil merebut kembali pulau Jawa yang tujuan akhirnya menegakkan hukum Islam.

Sejak terjadinya insiden pancang dan penutupan jalan dari Yogyakarta ke Tegalrejo, kediaman Diponegoro dijaga oleh 1.500 orang pengikutnya. Mereka terpengaruh berita bahwa Diponegoro akan ditangkap. Pada 21 Juli 1825, residen akhirnya memerintahkan satu detasemen pasukan yang dipimpin oleh asisten residen, Chevallier, untuk menangkap Diponegoro. Kedatangan pasukan tersebut disambut dengan perlawanan dari pengikut Diponegoro. Dalem Tegalrejo dikepung, dihancurkan, dan dibakar. Diponegoro kemudian lari ke Selarong, sebuah desa strategis yang berada di kaki bukit kapur, kurang lebih 9 km dari Yogyakarta. Di sana, diam-diam telah lama dipersiapkan sebagai markas besar. Pada akhir Juli 1825, di Selarong telah berkumpul beberapa orang bangsawan Yogyakarta, serta utusan dari Kraton Surakarta antara lain Pangeran Mangkubumi, Pangeran Adinegoro, Pangeran Panular, Adiwinoto Suryodipuro, Kyai Mojo, Pangeran Ronggo, Pangeran Surenglogo. Pangeran Suryo Kusumo, Raden Suryo Muhammad. Diponegoro memerintahkan Tumenggung Joyomenggolo, Bahuyuda dan Hanggowikromo untuk memobilisasi orang-orang di desa sekitar Selarong dan bersiap melakukan perang. Ia juga membuat perencanaan strategis dan langkah-langkah taktis untuk melakukan serangan.

Secara garis besar, strategi Diponegoro adalah merebut dan menguasai seluruh wilayah Kesultanan, lalu mengusir Belanda dan orang Cina keluar dari wilayah Kesultanan Yogyakarta. Nagara, terutama keraton Yogyakarta, sebagai sasaran strategis yang harus diduduki dengan mengepungnya dari semua penjuru. Pemberontakan lokal disulut untuk memecah kekuatan lawan dan kekuatan pihak-pihak yang membantu lawan.

Selanjutnya, Diponegoro mengambil beberapa langkah untuk mencapai tujuan strategisnya:

Menyerbu nagara (Keraton Yogyakarta) dan mengisolasinya untuk mencegah datangnya pasukan bantuan dari luar Yogyakarta.

Mengirim pesan yang berisi perintah untuk memerangi orang Eropa dan Cina. Pesan itu disampaikan kepada para pemimpin pasukan ke seluruh wilayah Kesultanan; Kedu, Bagelen, Banyumas, Serang, dan wilayah Monconegoro Timur. Ia mengirim pesan yang sama kepada para demang di perbatasan Kesultanan dan Kesunanan. Diponegoro kemudian mengangkat pemimpin daerah melalui surat keputusan pengangkatan resmi yang disebut Piagem.

Menyusun daftar bangsawan yang dianggap sebagai lawan dan melindungi mereka yang membantu.

Membagi wilayah Kesultanan menjadi beberapa daerah perang, serta mengangkat komandan wilayah dan komandan pasukan, juga melantik beberapa pembantu utama.

Menyusun pasukan pengawal keraton yang terdiri atas enam korps, yaitu Pasukan Mantirejo, Pasukan Daeng, Pasukan Nyutro, Pasukan Mandung, Pasukan Ketanggung, dan Pasukan Kanoman.

Struktur organisasi, hierarki, dan susunan tugas masing-masing korps tidak meniru model Barat, tetapi meniru model organisasi Janissari, yaitu pasukan elit kekhilafahan Turki Utsmani abad ke-16, yang disesuaikan dengan kondisi Jawa. Untuk menjalankan strategi perlawanan, Diponegoro menggunakan hierarki Turki untuk kepangkatan pasukannya. Ali Pasha setara komandan divisi diadopsi menjadi Alibasah. Di bawahnya, Pasha setara komandan brigade menjadi Basah. Kemudian setara komandan batalyon adalah Dulah, yang diadopsi dari istilah kepangkatan Agadulah. Untuk setara komandan kompi diambil istilah Seh.

Struktur pimpinan perlawanan Diponegoro meliputi dari yang tertinggi Manggolo Yudo Prang (Sultan Ngabdulkamid Herucokro Kabirul Mukminim Sayidin Panotogomo Senopati ing Ngalogo Sabilullah) yaitu Pangeran Diponegoro sendiri. Panglima Tentara adalah Alibasah Ngabdul Mustapa Sentot Prawirodirjo. Komandan untuk kewilayahan perang (mandala) Pajang, Yogyakarta, dan Bagelen, berturut-turut Alibasah Kasan Besari, Alibasah Sumonegoro, dan Pangeran Suryo Kusumo. Perang Diponegoro sebagai perang rakyat meluas di sebagian wilayah Jawa. Saleh menuangkan catatan Letnan Gubernur Jenderal LPJ (Viscount) du Bus de Gissignies yang menyebutkan adanya pasokan senjata untuk pasukan Diponegoro melewati pantai selatan (Samudra Hindia) di sekitar wilayah muara Sungai Progo.

Pada 9 Agustus 1828, diketahui ada sebuah padewakang, kapal Bugis, bersama sejumlah besar perahu kecil berangkat dari muara Sungai Progo ke arah daratan. Peristiwa ini diduga sebagai penyelundupan senjata untuk pasukan Diponegoro. Siapa yang membantu penyelundupan senjata untuk pasukan Diponegoro sampai sekarang belum terungkap. Dari Turki hanya digunakan istilah hierarki kepangkatan tentara Diponegoro.

Melihat persiapan yang begitu matang, selama beberapa tahun Diponegoro telah melakukan aksi conspiracy of silence karena dalam waktu yang relatif singkat mampu memobilisasi kekuatan. Ia dengan sengaja mempersiapkan diri untuk melakukan perebutan kekusaan politik di Kesultanan Yogyakarta. Hal ini dimulai saat ia menolak pencalonan sebagai putra mahkota olehJohn Crawfurd pada tahun 1812 hingga menolak tawaran Residen Baron de Salis untuk menjadi Sultan pada tahun 1822.Sikap tersebut menjadi bukti bahwa ia mempunyai pendirian dan ideologi tersendiri tentang negara dan sistem kenegaraan.

Tujuan Perang Diponegoro


Banyak penutur sejarah yang mengatakan bahwa perang Diponegoro dipicu oleh perang dinasti antara kasultanan Mataram dan Surakarta dan masalah patok kuburan leluhurnya yang dilanggar. Pemikiran sejarah haruslah logis, kata Hacket Fischer, agar mencegah kekeliruan penuturan sejarah. Logikanya, butuh lebih dari itu untuk melangsungkan perang panjang yang dampaknya hingga menguras anggaran belanja sebuah negara.

Faktor yang mendukung keberlangsungan perlawanan Diponegoro menjadi demikian hebatnya:

Perang Diponegoro bertujuan mempertahankan kedaulatan negara. Kegiatan perlawanan militer Diponegoro adalah dalam kerangka penegakan Balad al Islam (hukum islam dijadikan hukum negara).

Ada tiga indikasi yang menunjukkan Perang Diponeogoro bertujuan mempertahankan negara:

Memiliki ideologi (sumber ideologi) berperang untuk mendirikan negara yang Berkeadilan yang Berdasarkan Agama Islam. Aksi kolektif militer Diponegoro jelas bertujuan untuk mendirikan balad (negara) Islam yang sekaligus merupakan bentuk reaksi penolakan terhadap perluasan pengaruh kapitalisme atau liberalisme yang dianggap mengganggu sistem sosial dan keagamaan di Tanah Jawa.

Perjuangan masyarakat Jawa di bawah kepemimpinan Diponegoro dilandasi oleh alasan yang lebih filosofis, yaitu jihad fi sabilillah. “Tujuan utama dari pemberontakan tetap tak berubah, pembebasan negeri Yogyakarta dari kekuasaan Barat dan pembersihan agama daripada noda-noda yang disebabkan oleh pengaruh orang-orang Barat.” Hal ini tampak dari ucapan Pangeran Diponegoro kepada Jendral De Kock pada saat penangkapannya.

“Namaningsun Kanjeng Sultan Ngabdulkamid. Wong Islam kang padha mukir arsa ingsun tata. Jumeneng ingsun Ratu Islam Tanah Jawi”.

(Nama saya adalah Kanjeng Sultan Ngabdulkhamid, yang bertugas untuk menata orang Islam yang tidak setia, sebab saya adalah Ratu Islam Tanah Jawa).

Memiliki organisasi dan kondisi masyarakatnya yang mendukung. Kepemimpinannya mampu mendidik masyarakat, memupuk semangat, dan memberikan tujuan. Implikasi positifnya Pangeran Diponegoro memiliki Hegemoni Politik di wilayahnya.

Dengan latar belakang ideologis, diiringi dengan kondisi sosial ekonomi saat itu yang penuh dengan kezaliman, semakin memudahkan Diponegoro untuk mendapatkan dukungan masyarakat. Kondisi tersebut antara lain:

Pertama, wilayah kraton yang menyempit akibat diambil alih Belanda.

Kedua, pemberian kesempatan kepada orang Tionghoa untuk menarik pajak.

Ketiga, kekurangadilan di masyarakat Jawa.

Keempat, aneka intrik di istana.

Kelima, praktek sewa perkebunan secara besar-besaran kepada orang Belanda, yang menyebabkan pengaruh Belanda makin membesar.

Keenam, kerja paksa bukan hanya untuk kepentingan orang Yogyakarta saja, tetapi juga untuk kepentingan Belanda.

Pemikiran Dan Kiprahnya


Pemikiran dan kiprah Pangeran Diponegoro menarik para ulama, santri dan para penghulu merapat pada barisan perjuangannya. 108 kyai, 31 haji, 15 Syeikh, 12 penghulu Yogyakarta, dan 4 kyai guru yang turut berperang bersama Diponegoro. Bagi sebagian kalangan, ini cukup mengherankan. Sebab, pasca pembunuhan massal ulama dan santri oleh Sunan Amangkurat I tahun 1647, hubungan santri dengan kraton digambarkan sangat tidak harmonis. Namun Pangeran Diponegoro yang merupakan keturunan bangsawan dan ulama sekaligus, berhasil menyatukan kembali dua kubu tersebut. Bentuk penolakan terhadap kedaulatan sistem asing yang batil. Di samping itu sistem organisasi militer Pangeran Diponegoro- yang berkiblat ke Sistem militer Kekhalifahan Turki Usmani menunjukkan sikap hubungan formal bilateral antar dua kekuasaan politik. Terkait dengan kedaulatan, ada hubungan politik antara Pangeran Diponegoro dengan Khalifah di Turki. Bulkiyo yang berasal dari istilah Bolzuk atau divisi pasukan elite Turki Usmani Janissari abad ke-16, juga digunakan sebagai nama korps pasukan elite Diponegoro. Kekuatan motivasi dan kecakapan para pemimpin perang Diponegoro dalam mengelola aksi-aksi untuk mencapai tujuan.

Kemampuan para pemimpin perang Diponegoro dalam menggali dan mengolah emosi masyarakatnya agar tetap berkeyakinan terhadap perjuangan, merupakan salah satu faktor pendukung hingga peperangan bisa berlangsung lama. Secara umum kecakapan itu tercermin dari munculnya strategi baru sebagai balasan untuk strategi Stelsel Benteng. Strategi langsung yang mengandalkan keunggulan jumlah tentara yang diterapkan Diponegoro sebelumnya sudah tidak efektif kemudian digantikan dengan strategi atrisi (die Ermatung Strategie). Strategi penggerogotan mengubah sifat perangnya menjadi perang jangka panjang.

Jihad Diponegoro


Dalam pandangan Diponegoro dan pasukannya, perang yang mereka lakukan melawan Belanda dan sekutunya adalah sebuah jihad, yaitu berperang melawan kaum kafir yang telah melakukan penyerangan, pengusiran, dan perampasan terhadap umat Islam, dan juga berperang melawan orang-orang murtad, yaitu orang Islam yang membantu orang kafir dalam memusuhi dan melakukan agersi terhadap umat Islam. Dalam masa itu, kata sabil dan sabilillah yang mempunyai makna spesifik, digunakan untuk menggantikan kata jihad.

Kata sabil maupun sabilillah merupakan sebutan ringkas dari kata jihad fi sabilillah yang secara khusus kata ini bermakna melakukan peperangan melawan orang kafir.

Di samping itu, penggunaan kata sabil maupun sabilillah dianggap lebih mudah pengucapannya dalam bahasa Jawa daripada kata jihad fisabilillah. Pengucapan istilah-istilah asing dalam bahasa Jawa seringkali disingkat dengan cara mengambil kata yang paling belakang atau menggandengkan dua kata tersebut dan diucapkan sesuai dengan lidah orang Jawa. Hal ini juga dilakukan oleh Diponegoro sebagai contoh, Gerad Baron Nahuys (nama Residen Yogyakarta tahun 1816 – 1822) cukup ditulis dengan Nahuys, John Crawfurd diucapkan dengan Karepet, Abu Bakar dilafalkan Bubakar, Abdurrahim menjadi durahim, serta Ali Pasya menjadi Libasah atau basah.

Penggunaan kata sabil dan sabilillah juga erat kaitannya dengan struktur penulisan Babad Diponegoro yang menggunakan macapat. Seperti telah diketahui bahwa penulisan macapat mempunyai aturan yang ketat terutama berkaitan dengan jumlah suku kata (guru wilangan) dan rima (guru lagu). Penggunaan kata jihad fisabilillahyang mempunyai suku kata yang panjang dan agak sulit diucapkan orang Jawa, dirasakan sangat menyulitkan dalam penyusunan macapat yang mempunyai aturan suku kata dan rima. Oleh karena itu, kata sabil dan sabilillah digunakan sebagai kependekan dari kata Jihad fisabilillah.

Di dalam Babad Diponegoro terdapat kurang lebih 59 kata sabil dan sabilillah yang mempunyai pengertian berperang melawan orang kafir. Antara lain dalam tembang Girisan berikut:

Mas Lurah aris katanya.
“Bok ayo sabil kewala iki Jumungah dinanya mapan hiwih aprayoga”.
Jeng Sultan kendel sakala mangkana osiking drinya.
“Wus bener Mas Lurah ika Nging sun tan rinilan suksma, Sadina iki sirnaa Pan aja kongsi kadawa”.
Kanjeng Sultan angandika mring Pangeran Dipanagara.
Heh Kulup prajurit ika saanane tuturana
Yen sun arsa sabil iya Kanjeng Sultan apan biya…!

Terjemahannya kurang lebih sebagai berikut:

Mas Lurah dengan bijaksana berkata:
Ayo kita sabil saja, Hari ini hari Jumat, Hari baik untuk berperang.
Sultan (Abdul Hamid) berhenti sejenak, Dalam batinnya berkata:
“Benar perkataan Mas Lurah jiwa saya rela hari ini juga jangan sampai tertunda".
Sultan kemudian berkata:
Kepada Pangeran Diponegoro III (putera Diponegoro).
Wahai ananda, prajurit yang ada hendaknya diberitahu kalau saya hendak berperang.
Sultan karena saran ini dst.

Kata sabil yang digunakan dalam tembang di atas bermakna berperang melawan kafir (Belanda). Kalimat “Bok ayo sabil kewala” mempunyai pengertian mari kita berperang dengan orang kafir saja dan tidak perlu mundur. Selain itu, pasukan yang meninggal dalam jihad disebut dengan meninggal dalam sabil (prapta sabil/sabilullah). Diponegoro menggunakan kata sahid untuk orang-orang Islam dari kalangan masyarakat sipil yang menjadi korban perang. Penggunaan kata sahid ini merupakan pemberian penghargaan Diponegoro yang besar kepada umat Islam yang tidak terlibat langsung dalam peperangan. Bantuan umat Islam sangat besar bagi keberlangsungan perjuangan Diponegoro yang mempergunakan sistem gerilya.

Diponegoro menggunakan Al Quran sebagai dasar ideologi untuk berjihad. Sebagian besar kata Al Quran dalam Babad Diponegoro menunjukkan makna Al Quran sebagai landasan dalam berjihad. Dalam menafsirkan ayat-ayat Al Quran yang membahas jihad dalam artian perang melawan orang kafir, Diponegoro meminta kepada penasihat utamanya, yaitu Kyai Keweron dan Kyai Mojo, untuk menjabarkan dan menafsirkan ayat-ayat tersebut. Di dalam Babad, Diponegoro mengaku bahwa dirinya tidak mengetahui seluruh isi Al Quran dan takut apabila salah dalam menafsirkannya.

Secara umum, Babad Diponegoro tidak menunjukkan dengan terperinci ayat-ayat Al Quran yang dijadikan dasar dalam jihad. Diponegoro hanya mengungkapkan bahwa perjuangan yang dilakukannya didasarkan atas menjalankan perintah untuk menjalankan ayat qital dalam Al Quran.

Ngantepi Islamnya samya
Nglampahi parentah dalil
Ing Quran pan ayat Katal
Namung sing Rabulngalamin
Ing akerat punika
Tetepa ingkang sinuwun

Semua orang memegang teguh Islam. Menjalankan perintah dalil ayat Qital dalam Al Quran. Hanya kasih Rabbul’alamin di akhirat lah yang tetap dimohon.

Jihad yang dilakukan oleh Diponegoro bertujuan untuk menegakkan agama Islam di Jawa. Hal ini terlihat dalam surat balasan yang ditulis oleh Diponegoro kepada Jenderal de Kock yang menanyakan maksud dan tujuan Diponegoro:

“Dhateng ingkang saudara
Jenderal de Kock ri sampunnya Tabe kawula punika
Dene Jengandika tanya
Menggah Karsane ki Harya Estu yen darbe karsa
Rumiyin lan sapunika Nging luhuring kang agama Ing Tanah Jawi sadaya
Kalamun estu andika
Tan makewedi punika
Mring agamane akar ya
Islame ing Tanah Jawa
Pan inggih purun ki Harya Dhame lawan Jeng andika
Nanging Anedha pratandha"

Kepada Saudara Jenderal de Kock, Saya mohon maaf Jika anda bertanya Apa keinginan Aryo (Diponegoro).
Sungguh bila punya keinginan Hanya untuk meninggikan agama Di seluruh tanah Jawa.
Jika anda benar-benar Tidak membuat kesulitan Kepada agama Islam di tanah Jawa,
Maka Aryo bersedia Berdamai dengan anda.
Tetapi, meminta bukti.

Selain menegakkan Islam, jihad Diponegoro juga mempunyai misi untuk mendirikan negara Islam di tanah Jawa. Secara implisit hal itu disampaikan oleh Diponegoro kepada Kyai Penghulu yang hendak berangkat ke Mekkah menunaikan ibadah haji seperti yang dituturkan dalam pupuh Dandanggula (VII) berikut ini:

Syukur kaki dika jangji
Lamun besuk dika prapteng Mekah
Poma aywa muleh-muleh
Matia aneng ngriku
Yen manira antuk kang kardi
Dika kabar-kabarna
Lan dika nunuwun
Pandongane para imam
Muga kula oleha supangat Nabi
Lan kaliraning Allah
Den kuwatno manglawan mring kapir
Lan den banget andika nenedha
Sujud ing kakbahtolahi
Nunuwa ing Hyang Agung
Lestarine kang tanah Jawa
Dadya balad agama kaki laman estu
Wonten pitulung Hyang Suksma
Ki Pangulu den rikat andika mulih
Ki pangulu aturnya.

Syukurlah kalau begitu ananda, kamu harus janji
Jika kamu sudah tiba di Mekah
Sungguh jangan pulang-pulang
Jika perlu wafatlah di sana
Jika saya mendapat apa yang diperjuangkan
Kamu kabarkan Dan kau pintakan
Doa kepada para imam
Semoga saya mendapat syafaat Nabi
Dan ridlo Allah
Dikuatkan melawan orang kafir
Dan kamu mohonkan dengan sungguh-sungguh
Saat sujud di Ka’bah Mohonlah kepada Tuhan
Lestarinya tanah Jawa
Menjadi balad agama
Wahai ananda, jika benar-benar Ada pertolongan Tuhan
Ke Pengulu, cepat-cepat Anda pulang”
. Ki Pengulu berkata dst.

Dari kutipan di atas terlihat bahwa keinginan Diponegoro adalah berdirinya balad agama yang lestari di tanah Jawa. Balad agama yang dimaksud adalah sebuah negara di tanah Jawa yang berlandaskan syariat Islam. Keinginan ini tidak hanya murni keinginan Diponegoro, tetapi menjadi keinginan dari pembantu dan pengikutnya juga. Indikasi itu terlihat dari saran Mangkubumi untuk mengangkat Diponegoro menjadi Sultan atas perintah Dari Makkah dengan gelar Sultan Abdulhamid Herucokro Amirul Mukminin Sayyidin Panatagama Khalifatur Rasul ing Tanah Jawa.

Adapun sasaran dari jihad Diponegoro adalah dua kelompok, yaitu orang-orang kafir dan murtad. Yang dimaksud kafir adalah orang Belanda yang notabene adalah non Muslim dan telah melakukan penyerangan dan penjajahan terhadap umat Islam. Sedangkan kata murtad ditujukan kepada orang-orang Muslim Indonesia yang membantu Belanda dalam memerangi Diponegoro dan pasukannya serta melakukan kegiatan penindasan kepada rakyat.

Dalam babad Diponegoro terdapat kurang lebih 96 kata kafir dan 70 kata murtad yang konteksnya adalah musuh orang-orang Islam dalam peperangan. Diantaranya seperti diungkapkan dalam tembang pangkur berikut ini:

Budhal saking sela Mirah
Sampun prapta ing sawetning Pragi
Mesanggrahan senjati
Mangsah nulya prapta
Kapir lan murtad apan langkung kathahipun
Dhateng ira mara tiga Nanging datan den tangledi

Berangkat dari Selamira
Sampailah di sebelah timur Pragi
Dan kemudian singgah di Senjati
Kemudian musuh datang
Kafir dan murtad dengan jumlah yang banyak
Datang dengan dibagi tiga
Tetapi tidak dihiraukan.

Secara kronologis, istilah kafir dan murtad ini digunakan setelah penyerbuan pasukan Belanda dan Yogyakarta ke Tegalrejo. Sebelum peristiwa tersebut, istilah kafir tidak digunakan meskipun pasukan Inggris dan Sepoy pernah melakukan penyerbuan ke wilayah keraton Yogyakarta. Istilah kafir dan murtad ini muncul ketika ideologi jihad telah dirumuskan oleh Diponegoro bersama dengan ulama-ulama yang mendampinginya. Pemberian label kafir dan murtad serta Islam sangat diperlukan untuk membedakan siapa pembela agama dan siapa musuh agama. Diponegoro membuat peraturan bahwa yang menjadi pasukannya harus beragama Islam dan menunjukkan perilaku dan atribut Islam. Pasukan Diponegoro yang berasal dari keturunan Tionghoa yang turut bagian dalam melawan Belanda, diwajibkan untuk masuk Islam serta diharuskan memotong rambut kuncir yang menunjukkan identitas orang Cina. Sebagai gantinya, pasukan Diponegoro menggunakan atribut bercorak keislaman yakni surban.

Ideologi anti kafir dan murtad yang keras di kalangan pasukan Diponegoro tercermin dalam penggunaan bahasa, khususnya yang berkaitan dengan kematian pasukan musuh. Diponegoro tidak segan-segan menyebut musuh yang mati di medan perang dengan nama bangke (bangkai) yang biasanya digunakan untuk hewan.
(LANJUT KE HALAMAN 2)



BERANDA HALAMAN 2