NEWS UPDATE : SITUS "PP NURUL MUSTHOFA" SEKARANG SUDAH BISA DI AKSES VIA APLIKASI ANDROID. TUNGGU UPDATE DARI KAMI. SECEPATNYA AKAN KAMI UNGGAH APK NYA UNTUK DI DOWNLOAD,,, TERIMA KASIH
INFO UPDATE
KLIK DI SINI !!
×

INFO UPDATE

  • SAMPLE ATAM 1
  • SAMPLE ATAM 2
  • SAMPLE ATAM 3

MUHAMMAD ATAMMUN NI'AM

Ruang khusus info, pengumuman dan pemberitahuan seputar Pondok Pesantren

NURUL MUSTHOFA
Pasir - Mijen - Demak

SEKIAN TERIMA KASIH

HALAMAN 2


Mbah Kholil adalah guru utama yang mencetak banyak ulama besar di Jawa Timur. Sampai sekarang, meski sudah meninggal, banyak ulama yang mengaku belajar secara gaib dengan Mbah Kholil. Banyak cara dilakukan untuk belajar kitab secara gaib dari ulama tersohor ini. Salah satunya dengan berziarah serta bermalam di makam beliau. Seperti pernah dikisahkan KH. Anwar Siradj, pengasuh PP Nurul Dholam Bangil Pasuruan. Saat mempelajari kitab Alfiyah, beliau mengalami kesulitan. Padahal, kitab yang berupa gramatika Bahasa Arab tersebut, merupakan kunci untuk mendalami kitab-kitab lain. KH. Anwar Siradj sudah mencoba berguru kepada Kyai-Kyai besar di hampir semua penjuru Jawa Timur. Tapi hasilnya nihil. Suatu ketika, seperti dikisahkan Ustadz Muhammad Salim (santri Nurul Dholam), KH. Anwar Siradj dapat petunjuk, agar mempelajari kitab Alfiyah di makam Mbah Kholil.

Petunjuk gaib itu pun dilaksanakan. Selama sebulan penuh KH. Anwar Siradj ziarah di makam Mbah Kholil Bangkalan. Di makam itu dia mempelajari kitab Alfiyah. ”Akhirnya Kiai Anwar bisa menghafal Alfiyah,” Jelas Ustadz Salim. Banyak ulama generasi sekarang yang meski tidak pernah ketemu fisik dan bahkan lahirnya jauh sesudah Mbah Kholil meninggal, mengakui kalau perintis dakwah di Pulau Madura ini adalah guru mereka. Bukan guru secara fisik, melainkan pembimbing secara batin.



Pada waktu Mbah Kholil masih muda, ada seorang Kyai yang terkenal di daerah Wilungan, Pasuruan bernama Abu Darrin. Kealimannya tidak hanya terbatas di lingkungan Pasuruan, tetapi sudah menyebar ke berbagai daerah lain, termasuk Madura.

Mbah Kholil muda yang mendengar ada ulama yang mumpuni itu, terbetik di hatinya ingin menimba ilmunya. Setelah segala perbekalan dipersiapkan, maka berangkatlah Mbah Kholil muda ke pesantren Abu Darrin dengan harapan dapat segera bertemu dengan ulama yang dikagumi itu. Tetapi alangkah sedihnya ketika dia sampai di Pesantren Wilungan, ternyata Kyai Abu Darrin telah meninggal dunia beberapa hari sebelumnya. Hatinya dirundung duka dengan kepergian Kyai Abu Darrin. Namun karena tekad belajarnya sangat menggelora maka Mbah Kholil muda segera sowan ke makam Kyai Abu Darrin.

Setibanya di makam Abu Darrin, Mbah Kholil muda lalu mengucapkan salam lalu berkata: “Bagaimana saya ini Kyai, saya masih ingin berguru pada Kyai, tetapi Kyai sudah meninggal,” desah Mbah Kholil muda sambil menangis. Mbah Kholil muda lalu mengambil sebuah mushaf Al-Quran. Kemudian bertawassul dengan membaca Al-Quran terus-menerus sampai 41 hari lamanya. Pada hari ke-41 tiba-tiba datanglah Kyai Abu Darrin dalam mimpinya. Dalam mimpi itu, Kyai Abu Darrin mengajarkan beberapa ilmunya kepada Mbah Kholil muda. Setelah dia bangun dari tidurnya, lalu Mbah Kholil muda serta-merta dapat menghafal kitab Imriti, Kitab Asmuni dan Alfiyah.



Suatu hari di bulan Syawal. Mbah Kholil tiba-tiba memanggil santrinya. “Anak-anakku, sejak hari ini kalian harus memperketat penjagaan pondok pesantren. Pintu gerbang harus senantiasa dijaga, sebentar lagi akan ada macan masuk ke pondok kita ini,” Kata Mbah Kholil agak serius.

Mendengar tutur guru yang sangat dihormati itu, segera para santri mempersiapkan diri. Waktu itu sebelah timur Bangkalan memang terdapat hutan-hutan yang cukup lebat dan angker. Hari demi hari, penjagaan semakin diperketat, tetapi macan yang ditunggu-tunggu itu belum tampak juga. Memasuki minggu ketiga, datanglah ke pesantren seorang pemuda kurus, tidak berapa tinggi, berkulit kuning langsat sambil menenteng kopor seng. Sesampainya di depan pintu rumah Mbah Kholil, lalu mengucap salam. Mendengar salam itu, bukan jawaban salam yang diterima, tetapi Kyai malah berteriak memanggil santrinya: “Hei santri semua, ada macan….macan.., ayo kita kepung. Jangan sampai masuk ke pondok,” Seru Mbah Kholil bak seorang komandan di medan perang.

Mendengar teriakan Kyai kontan saja semua santri berhamburan, datang sambil membawa apa yang ada, pedang, clurit, tongkat, pacul untuk mengepung pemuda yang baru datang tadi yang mulai nampak kelihatan pucat. Tidak ada pilihan lagi kecuali lari seribu langkah. Namun karena tekad ingin nyantri ke Mbah Kholil begitu menggelora, maka keesokan harinya mencoba untuk datang lagi. Begitu memasuki pintu gerbang pesantren, langsung disongsong dengan usiran ramai-ramai. Demikian juga keesokan harinya. Baru pada malam ketiga, pemuda yang pantang mundur ini memasuki pesantren secara diam-diam pada malam hari. Karena lelahnya pemuda itu, yang disertai rasa takut yang mencekam, akhirnya tertidur di bawah kentongan surau.

Secara tidak diduga, tengah malam Mbah Kholil datang dan membantu membangunkannya. Karuan saja dimarahi habis-habisan. Pemuda itu dibawa ke rumah Mbah Kholil. Setelah berbasa-basi dengan seribu alasan. Baru pemuda itu merasa lega setelah resmi diterima sebagai santri Mbah Kholil. Pemuda itu bernama Abdul Wahab Chasbullah. Kelak kemudian hari santri yang diisyaratkan macan itu, dikenal dengan nama KH. Wahab Chasbullah, seorang Kyai yang sangat alim, jagoan berdebat, pembentuk komite Hijaz, pembaharu pemikiran. Kehadiran KH. Wahab Chasbullah di mana-mana selalu berwibawa dan sangat disegani baik kawan maupun lawan bagaikan seekor macan, seperti yang diisyaratkan Mbah Kholil.



Pada suatu hari menjelang pagi, santri bernama Bahar dari Sidogiri merasa gundah, dalam benaknya tentu pagi itu tidak bisa shalat Shubuh berjamaah. Ketidakikutsertaan Bahar shalat Shubuh berjamaah bukan karena malas, tetapi disebabkan halangan junub. Semalam Bahar bermimpi tidur dengan seorang wanita. Sangat dipahami kegundahan Bahar. Sebab wanita itu adalah istri Mbah Kholil, gurunya.

Menjelang subuh, terdengar Mbah Kholil marah besar sambil membawa sebilah pedang seraya berucap: “Santri kurang ajar.., santri kurang ajar….!” Para santri yang sudah naik ke masjid untuk sholat berjamaah merasa heran dan tanda tanya, apa dan siapa yang dimaksud santri kurang ajar itu. Shubuh itu Bahar memang tidak ikut shalat berjamaah, tetapi bersembunyi di belakang pintu masjid. Seusai shalat Shubuh berjamaah, Mbah Kholil menghadapkan wajahnya kepada semua santri seraya bertanya: “Siapa santri yang tidak ikut berjamaah?” Ucap Mbah Kholil dengan nada menyelidik.

Semua santri merasa terkejut, tidak menduga akan mendapat pertanyaan seperti itu. Para santri menoleh ke kanan-kiri, mencari tahu siapa yang tidak hadir. Ternyata yang tidak hadir waktu itu hanyalah Bahar. Kemudian Mbah Kholil memerintahkan mencari Bahar dan dihadapkan kepadanya. Setelah diketemukan lalu dibawa ke masjid. Mbah Kholil menatap tajam-tajam kepada Bahar seraya berkata: “Bahar, karena kamu tidak hadir shalat Shubuh berjamaah maka harus dihukum. Tebanglah dua rumpun bambu di belakang pesantren dengan petok ini,” Perintah Mbah Kholil.

Petok adalah sejenis pisau kecil, dipakai menyabit rumput. Setelah menerima perintah itu, segera Bahar melaksanakan dengan tulus. Dapat diduga bagaimana Bahar menebang dua rumpun bambu dengan suatu alat yang sangat sederhana sekali, tentu sangat kesulitan dan memerlukan tenaga serta waktu yang lama sekali. Hukuman ini akhirnya diselesaikan dengan baik. “Alhamdulillah, sudah selesai Kyai,” Ucap Bahar dengan sopan dan rendah hati.

“Kalau begitu, sekarang kamu makan nasi yang ada di nampan itu sampai habis!” Perintah Kyai kepada Bahar. Sekali lagi santri Bahar dengan patuh menerima hukuman dari Mbah Kholil. Setelah Bahar melaksanakan hukuman yang kedua, santri Bahar lalu disuruh makan buah-buahan sampai habis yang ada di nampan yang telah tersedia. Mendengar perintah ini santri Bahar melahap semua buah-buahan yang ada di nampan itu. Setelah itu santri Bahar diusir oleh Mbah Kholil seraya berucap: “Hai santri, semua ilmuku sudah dicuri oleh orang ini,” Ucap Mbah Kholil sambil menunjuk ke arah Bahar.

Dengan perasaan senang dan mantap santri Bahar pulang meninggalkan pesantren Mbah Kholil menuju kampung halamannya. Memang benar, tak lama setelah itu, santri yang mendapat isyarat mencuri ilmu Mbah Kholil itu, menjadi Kyai yang sangat alim, yang memimpin sebuah pondok pesantren besar di Jawa Timur. Kyai beruntung itu bernama Kyai Bahar, seorang Kyai besar dengan ribuan santri yang diasuhnya di Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur.



Suatu hari menjelang shalat Maghrib, seperti biasanya Mbah Kholil mengimami jamaah shalat bersama para santri Kedemangan. Bersamaan dengan Mbah Kholil mengimami shalat, tiba-tiba kedatangan tamu berbangsa Arab. Orang Madura menyebutnya Habib. Seusai melaksanakan shalat, Mbah Kholil menemui tamunya, termasuk orang Arab yang baru datang itu.

Sebagai orang Arab yang mengetahui kefasihan Bahasa Arab, Habib menghampiri Mbah Kholil seraya berucap: “Kyai, bacaan Al-Fatihah Antum (Anda) kurang fasih,” Tegur Habib. Setelah berbasa-basi beberapa saat, Habib dipersilahkan mengambil wudhu untuk melaksanakan shalat Maghrib. Tempat wudhu ada di sebelah masjid itu. “Silakan ambil wudhu di sana,” Ucap Mbah Kholil sambil menunjukkan arah tempat wudhu.

Baru saja selesai wudhu, tiba-tiba sang Habib dikejutkan dengan munculnya macan tutul. Habib terkejut dan berteriak dengan bahasa Arabnya yang fasih, untuk mengusir macan tutul yang makin mendekat itu. Meskipun Habib mengucapkan bahasa Arab sangat fasih untuk mengusir macan tutul, namun macan itu tidak pergi juga.

Mendengar ribut-ribut di sekitar tempat wudhu Mbah Kholil datang menghampiri. Melihat ada macan yang tampaknya penyebab keributan itu, Mbah Kholil mengucapkan sepatah dua patah kata yang kurang fasih. Anehnya, sang macan yang mendengar kalimat yang dilontarkan Mbah Kholil yang nampaknya kurang fasih itu, macan tutul bergegas menjauh. Dengan kejadian ini, sang Habib paham bahwa sebetulnya Mbah Kholil bermaksud memberi pelajaran kepada dirinya, bahwa suatu ungkapan bukan terletak antara fasih dan tidak fasih, melainkan sejauh mana penghayatan makna dalam ungkapan itu.



Suatu Ketika Habib Jindan bin Salim berselisih pendapat dengan seorang ulama, manakah pendapat yang paling sahih dalam ayat ‘Maaliki yaumiddin’, Maliki-nya dibaca ‘Maaliki’ (dengan memakai alif setelah mim), ataukah ‘Maliki’ (tanpa alif). Setelah berdebat tidak ada titik temu. Akhirnya sepakat untuk sama-sama datang ke Kyai Keramat, Mbah Kholil Bangkalan.

Ketika itu Kyai yang jadi maha guru para Kyai pulau Jawa itu sedang duduk di dalam mushala. Saat rombongan Habib Jindan sudah dekat ke Mushala sontak saja Mbah Kholil berteriak: “Maaliki yaumiddin ya Habib, Maaliki yaumiddin Habib,” Teriak Kyai Kholil Bangkalan menyambut kedatangan Habib Jindan. Tentu saja dengan ucapan selamat datang yang aneh itu, sang Habib tak perlu bersusah payah menceritakan soal sengketa Maliki Yaumiddin ataukah Maaliki Yaumiddin itu. Demikian yang diceritakan Habib Luthfi bin Yahya ketika menjelaskan perbendaan pendapat ulama dalam bacaan ayat itu pada Tafsir ath-Thabari.



Suatu hari Mbah Kholil berjalan ke arah selatan Bangkalan. Beberapa santri menyertainya. Setelah berjalan cukup jauh, tepatnya sampai di desa Langgundi, tiba-tiba Mbah Kholil menghentikan perjalanannya. Setelah melihat tanah di hadapannya, dengan serta-merta Mbah Kholil menancapkan tongkatnya ke tanah.

Dari arah lobang bekas tancapan Mbah Kholil tadi, memancarlah sumber air yang sangat jernih. Semakin lama semakin besar. Bahkan karena terus membesar, sumber air tersebut akhirnya menjadi kolam yang bisa dipakai untuk minum dan mandi. Kolam yang bersejarah itu sampai sekarang masih ada. Orang Madura menamakannya Kolla Al-Asror Langgundi. Letaknya sekitar 1 km sebelah Selatan kompleks pemakaman Mbah Kholil Bangkalan.



Mbah Kholil (KH. Muhammad Kholil Bangkalan Al-Maduri) adalah titisan beberapa wali yang tergabung dalam Walisongo, Yaitu Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Gunung Jati dan Sunan Kudus, yang mana mereka bermarga “Azmatkhan” dan bersambung pada Sayyid Alawi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath. Beliau juga bernasab pada keluarga Basyaiban yang bersambung pada Al-Imam Muhammad Al-Faqih Al-Muqaddam bin Ali bin Muhammad Shahib Mirbath Al-Alawi Al-Husaini.

KH. Muhammad Kholil bin KH. Abdul Lathif bin Kyai Hamim bin Kyai Abdul Karim bin Kyai Muharram bin Kyai Asror Karomah bin Kyai Abdullah bin Sayyid Sulaiman. Sayid Sulaiman adalah cucu Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati Cirebon. Syarif Hidayatullah itu putera Sultan Umdatuddin Umdatullah Abdullah yang memerintah di Cam (Campa). Ayahnya adalah Sayyid Ali Nurul Alam bin Sayyid Jamaluddin Al-Kubra.

Berikut ini adalah silsilah nasab Mbah Kholil. Terlebih dahulu saya tulis silsilah jalur laki-laki yang bersambung pada Sunan Kudus, untuk menunjukkan hak beliau dalam menggunakan nama belakang (marga/fam) “Azmatkhan Al-Alawi Al-Husaini”, sesuai dengan adat dan istilah pernasaban bangsa Arab.



1. Mbah Kholil (Syeikh Muhammad Kholil) Bangkalan.
2. Kyai Abdul Lathif. Dimakamkan di Bangkalan.
3. Kyai Hamim. Dimakamkan di Tanjung Porah, Lomaer, Bangkalan.
4. Kyai Abdul Karim.
5. Kyai Muharram. Dimakamkan di Banyo Ajuh, Bangkalan.
6. Kyai Abdul Azhim. Dimakamkan di Tambak Agung, Sukalela, Labeng, Bangkalan.
7. Kyai Sulasi. Dimakamkan di Petapan, Trageh, Bangkalan.
8. Kyai Martalaksana. Dimakamkan di Banyu Buni, Gelis, Bangkalan.
9. Kyai Badrul Budur. Dimakamkan di Rabesan, Dhuwwek Buter, Kuayar, Bangkalan.
10. Kyai Abdur Rahman (Bhujuk Lek-palek). Dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan.
11. Kyai Khatib. Ada yang menulisnya “Ratib”. Dimakamkan di Pranggan, Sumenep.
12. Sayyid Ahmad Baidhawi (Pangeran Ketandar Bangkal). Dimakamkan di Sumenep.
13. Sayyid Shaleh (Panembahan Pakaos). Dimakamkan di Ampel Surabaya.
14. Sayyid Ja’far Shadiq (Sunan Kudus). Dimakamkan di Kudus.
15. Sayyid Utsman Haji (Sunan Ngudung). Dimakamkan di Kudus.
16. Sayyid Fadhal Ali Al-Murtadha (Raden Santri /Raja Pandita). Dimakamkan di Gresik.
17. Sayyid Ibrahim (Asmoro). Dimakamkan di Tuban.
18. Sayyid Husain Jamaluddin. Dimakamkan di Bugis.
19. Sayyid Ahmad Syah Jalaluddin. Dimakamkan di Naseradab, India.
20. Sayyid Abdullah. Dimakamkan di Naserabad, India.
21. Sayyid Abdul Malik Azmatkhan. Dimakamkan di Naserabad, India.
22. Sayyid Alawi ‘Ammil Faqih. Dimakamkan di Tarim, Hadramaut, Yaman.
23. Sayyid Muhammad Shahib Mirbath. Dimakamkan di Zhifar, Hadramaut, Yaman.
24. Sayyid Ali Khali’ Qasam. Dimakamkan di Tarim, Hadramaut, Yaman.
25. Sayyid Alawi. Dimakamkan di Bait Jabir, Hadramaut, Yaman.
26. Sayyid Muhammad. Dimakamkan di Bait Jabir, Hadramaut, Yaman.
27. Sayyid Alawi. Dimakamkan di Sahal, Yaman.
28. Sayyid Abdullah/Ubaidillah. Dimakamkan di Hadramaut, Yaman.
29. Al-Imam Ahmad Al-Muhajir . Dimakamkan di Al-Husayyisah, Hadramaut, Yaman.
30. Sayyid Isa An-Naqib. Dimakamkan di Bashrah, Iraq.
31. Sayyid Muhammad An-Naqib. Dimakamkan di Bashrah, Iraq.
32. Al-Imam Ali Al-Uradhi. Dimakamkan di Al-Madinah Al-Munawwarah.
33. Al-Imam Ja’far Ash-Shadiq. Dimakamkan di Al-Madinah Al-Munawwarah.
34. Al-Imam Muhammad Al-Baqir. Dimakamkan di Al-Madinah Al-Munawwarah.
35. Al-Imam Ali Zainal Abidin. Dimakamkan di Al-Madinah Al-Munawwarah.
36. Sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib. Dimakamkan di Karbala, Iraq.
37. Sayyidatina Fathimah Az-Zahra’ binti Sayyidina Muhammad Rasulullah. Dimakamkan di Madinah Al-Munawwarah

Maka, dari jalur Sunan Kudus, Mbah Kholil adalah generasi ke-37 dari Rasulullah Saw.



1. Mbah Kholil (Syeikh Muhammad Kholil) Bangkalan.
2. Kyai Abdul Lathif. Dimakamkan di Bangkalan.
3. Kyai Hamim. Dimakamkan di Tanjung Porah, Lomaer, Bangkalan.
4. Kyai Abdul Karim.
5. Kyai Muharram. Dimakamkan di Banyo Ajuh, Bangkalan.
6. Kyai Abdul Azhim. Dimakamkan di Tambak Agung, Sukalela, Labeng, Bangkalan.
7. Nyai Tepi Sulasi (Istri Kyai Sulasi). Dimakamkan di Petapan, Trageh, Bangkalan.
8. Nyai Komala. Dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan.
9. Sayyid Zainal Abidin (Sunan Cendana). Dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan.
10. Sayyid Muhammad Khathib (Raden Bandardayo). Dimakamkan di Sedayu Gresik.
11. Sayyid Musa (Sunan Pakuan). Dimakamkan di Dekat Gunung Muria Kudus. Dalam sebagian catatan nama Musa ini tidak tertulis.
12. Sayyid Qasim (Sunan Drajat). Dimakamkan di Drajat, Paciran Lamongan.
13. Sayyid Ahmad Rahmatullah (Sunan Ampel). Dimakamkan di Ampel, Surabaya.
14. Sayyid Ibrahim Asmoro Tuban. Disini nasab Nyai Sulasi dan Kyai Sulasi bertemu.

Maka, melalui jalur Sunan Ampel, Mbah Kholil adalah generasi ke-34 dari Rasulullah Saw.



1. Mbah Kholil (Syeikh Muhammad Kholil) Bangkalan.
2. Kyai Abdul Lathif. Dimakamkan di Bangkalan.
3. Kyai Hamim. Dimakamkan di Tanjung Porah, Lomaer, Bangkalan.
4. Kyai Abdul Karim.
5. Kyai Muharram. Dimakamkan di Banyo Ajuh, Bangkalan.
6. Kyai Abdul Azhim. Dimakamkan di Tambak Agung, Sukalela, Labeng, Bangkalan.
7. Nyai Tepi Sulasi (Istri Kyai Sulasi). Dimakamkan di Petapan, Trageh, Bangkalan.
8. Nyai Komala. Dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan.
9. Sayyid Zainal Abidin (Sunan Cendana). Dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan.
10. Nyai Gede Kedaton (istri Sayyid Muhammad Khathib). Dimakamkan di Giri, Gresik.
11. Panembahan Kulon. Dimakamkan di Giri, Gresik.
12. Sayyid Muhammad Ainul Yaqin (Sunan Giri). Dimakamkan di Giri, Gresik.
13. Maulana Ishaq. Dimakamkan di Pasai.
14. Sayyid Ibrahim Asmoro Tuban. Di sini nasab Nyai Gede Kedaton dan Sayyid Muhammad Khathib bertemu.

Maka, melalui jalur Sunan Giri, Mbah Kholil adalah generasi ke-34 dari Rasulullah Saw.



1. Mbah Kholil (Syeikh Muhammad Kholil) Bangkalan.
2. Kyai Abdul Lathif. Dimakamkan di Bangkalan.
3. Nyai Khadijah (Istri Kyai Hamim). Dimakamkan di Bangkalan.
4. Kyai Asror Karomah.
5. Sayyid Abdullah.
6. Sayyid Ali Al-Akbar.
7. Sayyid Sulaiman. Dimakamkan di Mojo Agung, Jombang.
8. Syarifah Khadijah.
9. Maulana Hasanuddin. Dimakamkan di Banten.
10. Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Dimakamkan di Cirebon.
11. Sayyid Abdullah Umdatuddin.
12. Sayyid Ali Nuruddin/Nurul Alam.
13. Sayyid Husain Jamaluddin Bugis. Di sini nasab Nyai Khadijah dan Kyai Hamim Kholil bertemu.

Maka, melalui jalur Sunan Gunung Jati, Mbah Kholil adalah generasi ke-32 dari Rasulullah Saw.



1. Mbah Kholil (Syeikh Muhammad Kholil) Bangkalan.
2. Kyai Abdul Lathif. Dimakamkan di Bangkalan.
3. Nyai Khadijah (Istri Kyai Hamim). Dimakamkan di Bangkalan.
4. Kyai Asror Karomah.
5. Sayyid Abdullah.
6. Sayyid Ali Al-Akbar.
7. Sayyid Sulaiman. Dimakamkan di Mojo Agung, Jombang.
8. Sayyid Abdurrahman (Suami Syarifah Khadijah binti Hasanuddin).
9. Sayyid Umar.
10. Sayyid Muhammad.
11. Sayyid Abdul Wahhab.
12. Sayyid Abu Bakar Basyaiban.
13. Sayyid Muhammad.
14. Sayyid Hasan At-Turabi.
15. Sayyid Ali.
16. Al-Imam Muhammad Al-Faqih Al-Muqaddam.
17. Sayyid Ali.
18. Sayyid Muhammad Shahib Mirbat. Di sini nasab keluarga Azmatkhan dan Basyaiban bertemu.

Maka, melalui jalur Sayyid Abdurrahman Basyaiban, Mbah Kholil adalah generasi ke-32 dari Rasulullah Saw.

Demikianlah nasab Mbah Kholil dengan berbagai jalur yang saya dapatkan sampai saat ini, bisa jadi suatu hari nanti kita menemukan nama-nama baru daripada istri-istri jalur laki-laki yang ada itu.

Dalam hal pencatatan nasab, ada satu hal yang cukup membanggakan bagi Kyai-Kyai Jawa dan Madura. Berkat gabungan antara adat Arab dalam menjaga silsilah dan adat Jawa/Madura yang tidak membeda-bedakan garis laki-laki dan perempuan, akhirnya Kyai-Kyai Jawa/Madura banyak yang memiliki silsilah lengkap dari berbagai jalur. Hal ini pernah ditunjukkan kepada seorang Syeikh dari Yaman, beliau merasa kagum karena banyak jalur perempuan yang juga dicatat dalam silsilah itu selain jalur laki-laki, karena pada umumnya, orang Arab tidak tahu nama-nama kakek-buyutnya yang dari jalur ibu atau jalur nenek, mereka hanya mengenal yang jalur ayah ke atas dengan garis laki-laki.



Peran Mbah Kholil dalam melahirkan NU pada dasarnya tidak dapat diragukan lagi. Hal ini didukung dari suksesnya salah satu dari muridnya, KH. Hasyim Asy’ari, menjadi tokoh dan panutan masyarakat NU. Namun demikian, satu yang perlu digarisbawahi bahwa Mbah Kholil bukanlah tokoh sentral dari NU, karena tokoh tersebut tetap pada KH. Hasyim Asy’ari sendiri.

Mengulas kembali ringkasan sejarah mengenai pembentukan NU, ini berawal pada tahun 1924, saat di Surabaya terdapat sebuah kelompok diskusi yang bernama Tashwirul Afkar (potret pemikiran), yang didirikan oleh salah seorang Kyai muda yang cukup ternama pada waktu itu: KH. Wahab Chasbullah. Kelompok ini lahir dari kepedulian para ulama terhadap gejolak dan tantangan yang di hadapi umat Islam kala itu, baik mengenai praktik-praktik keagamaan maupun dalam bidang pendidikan dan politik.

Pada perkembangannya kemudian, peserta kelompok diskusi ingin mendirikan Jam’iyah (organisasi) yang ruang lingkupnya lebih besar daripada hanya sebuah kelompok diskusi. Maka, dalam berbagai kesempatan, Kyai Wahab selalu menyosialisasikan ide untuk mendirikan Jam’iyah itu. Dan hal ini tampaknya tidak ada persoalan, sehingga diterima dengan cukup baik ke semua lapisan. Tak terkecuali dari KH. Hasyim Asy’ari, Kyai yang paling berpengaruh pada saat itu.

Namun, KH. Hasyim Asy’ari awalnya tidak serta-merta menerima dan merestui ide tersebut. Terbilang hari dan bulan, KH. Hasyim Asy’ari melakukan shalat istikharah untuk memohon petunjuk Allah, namun petunjuk itu tak kunjung datang.

Sementara itu, Mbah Kholil, guru KH. Hasyim Asy’ari, yang juga guru KH. Wahab Chasbullah, diam-diam mengamati kondisi itu, dan ternyata ia langsung tanggap, dan meminta seorang santri yang masih terbilang cucunya sendiri, dipanggil untuk menghadap kepadanya. “Saat ini Kyai Hasyim sedang resah, antarkan dan berikan tongkat ini kepadanya!” Kata Mbah Kholil sambil menyerahkan sebuah tongkat. “Baik, Kyai,” Jawab As’ad sambil menerima tongkat itu. “Bacakanlah kepada Kyai Hasyim ayat-ayat ini: Wamaa tilka biyamiinika yaa Muusaa, Qaala hiya ‘ashaaya atawakka-u ‘alaihaa wa abusyyu bihaa ‘alaa ghanami waliya fiihaa ma-aaribu ukhraa. Qaala alqihaa yaa Muusa. Fa-alqahaa faidzaa hiya hayyatun tas’aa. Qaala Khudzhaa wa laa takhaf sanu’iiduhaa shirathal uulaa wadhumm yadaka ila janaahika takhruj baidhaa-a min ghairi suu-in aayatan ukhraa linuriyaka min aayatil kubraa,” Pesan Mbah Kholil.

As’ad segera pergi ke Tebu Ireng, ke kediaman Kyai Hasyim, dan di situlah berdiri pesantren yang diasuh oleh Kyai Hasyim. Mendengar ada utusan Mbah Kholil datang, Kyai Hasyim menduga pasti ada sesuatu, dan ternyata dugaan tersebut benar adanya. “Kyai, saya diutus Kyai Kholil untuk mengantarkan dan menyerahkan tongkat ini kepada Kyai,” Kata As’ad, pemuda berusia sekitar 27 tahun itu, sambil mengeluarkan sebuah tongkat, dan Kiai Hasyim langsung menerimanya dengan penuh perasaan. “Ada lagi yang harus kau sampaikan?” Tanya Kyai Hasyim. “Ada Kyai,” Jawab As’ad. Kemudian ia menyampaikan ayat yang disampaikan Mbah Kholil.

Mendengar ayat yang dibacakan As’ad, hati Kyai Hasyim tergetar. Matanya menerawang, terbayang wajah Mbah Kholil yang tua dan bijak. Kyai Hasyim menangkap isyarat, bahwa gurunya tidak keberatan kalau ia dan teman-temannya mendirikan Jam’iyah. Sejak saat itu, keinginan untuk mendirikan Jam’iyah semakin dimatangkan. Hari berganti hari, bulan berganti bulan, setahun telah berlalu, namun Jam’iyah yang diidamkan itu tak kunjung lahir. Sampai pada suatu hari, pemuda As’ad muncul lagi.

“Kyai, saya diutus oleh Kyai Kholil untuk menyampaikan tasbih ini,” Kata As’ad. “Kyai juga diminta untuk mengamalkan Yaa Jabbaar, Yaa Qahhaar (lafadz Asma’ul Husna) setiap waktu,” Tambah As’ad. Sekali lagi, pesan gurunya diterima dengan penuh perasaan. Kini hatinya semakin mantap untuk mendirikan Jam’iyah. Namun, sampai tak lama setelah itu, Mbah Kholil meninggal, dan keinginan untuk mendirikan Jam’iyah belum juga bisa terwujud. Baru setahun kemudian, tepatnya 16 Rajab 1344 H, “jabang bayi” yang ditunggu-tunggu itu lahir dan diberi nama Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU). Dan di kemudian hari, jabang bayi itu pun menjadi “raksasa”.

Tapi, bagaimana Kyai Hasyim menangkap isyarat adanya restu dari Mbah Kholil untuk mendirikan NU dari sepotong tongkat dan tasbih? Tidak lain dan tak bukan karena tongkat dan tasbih itu diterimanya dari Mbah Kholil, seorang Kyai alim yang diyakini sebagai salah satu Wali Allah.



Mbah Kholil adalah salah satu Kyai yang belajar lebih daripada satu madzhab saja. Akan tetapi, di antara madzhab-madzhab yang ada, ia lebih mendalami madzhab Syafi’i di dalam ilmu fiqh. Pada masa kehidupan Mbah Kholil, yaitu akhir abad-19 dan awal abad-20, di daerah Jawa, khususnya Madura, sedang terjadi perdebatan antara dua golongan pada saat itu. Pada awal abad-20, seperti telah diungkapkan sebelumnya, di daerah Jawa sedang terjadi penyebaran ajaran Tarekat Naqsyabandiyah, Qadiriyah wa-Naqsyabandiyah, Naqsyabandiyah Muzhariyah dan lain-lain.

Akan tetapi, tidaklah dapat dipungkiri mengenai keterlibatan Mbah Kholil dalam tarekat, terbukti bahwa Mbah Kholil dikenal pertama kali dikarenakan kelebihannya dalam hal tarekat, dan juga memberikan dan mengisi ilmu-ilmu kanuragan kepada para pejuang. Di sisi lain, Mbah Kholil pun diakui sebagai salah satu Kyai yang dapat menggabungkan tarekat dan fiqh, yang kebanyakan ulama pada saat itu melihat dua hal tersebut bertentangan seperti Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, salah satu ulama yang notabene seangkatan dengan Mbah Kholil. Memang, Mbah Kholil hidup pada masa penyebaran tarekat begitu gencar-gencarnya, sehingga kebanyakan ulama pada saat itu, mempunyai dan memilki ilmu-ilmu kanuragan, dan tidak terkecuali Mbah Kholil. Namun demikian, perbedaan antara Mbah Kholil dengan kebanyakan Kyai yang lainnya, bahwa Mbah Kholil tidak sampai mengharamkan atau pun menyebutnya sebagai perlakuan syirik dan bid’ah bagi penganut tarekat. Mbah Kholil justru meletakkan dan menggabungkan antara keduanya (tarekat dan fiqh).

Dalam penggabungan dua hal ini, Mbah Kholil mendudukkan tarekat di bawah fiqh, sehingga ajaran-ajaran tarekat mempunyai batasan-batasan tersendiri yaitu fiqh. Selain itu, ajaran tarekat juga tidak menjadi ajaran yang tanpa ada batasannya. Namun, yang cukup disayangkan adalah, tidak banyaknya referensi yang menjelaskan tentang cara atau pun pola-pola dalam penggabungan tarekat dan fiqh oleh Mbah Kholil tersebut.



Dalam bidang karya, memang hampir tidak ada literatur yang menyebutkan tentang karya Mbah Kholil. akan tetapi Mbah Kholil meninggalkan banyak sejarah dan sesuatu yang tidak tertulis dalam literatur yang baku. Ada pun peninggalan Mbah Kholil di antaranya: Pertama: Mbah Kholil turut melakukan pengembangan pendidikan pesantren sebagai pendidikan alternatif bagi masyarakat Indonesia. Pada saat penjajahan Belanda, hanya sedikit orang yang dibolehkan belajar, itu pun hanya dari golongan priyayi saja; di luar itu, tidaklah dapat belajar di sekolah.

Dari sanalah pendidikan pesantren menjadi jamur di daerah Jawa, dan terhitung sangat banyak santri Mbah Kholil yang setelah lulus, mendirikan pesantren. Seperti Kyai Hasyim (Pendiri Pesantren Tebu Ireng), Kyai Wahab Chasbullah (Pendiri Pesantren Tambak Beras), Kyai Ali Ma’shum (Pendiri Pesantren Lasem Rembang), dan Kyai Bisri Musthafa (Pendiri Pesantren Rembang). Dari murid-murid Mbah Kholil, banyak muridnya yang di kemudian hari mendirikan pesantren, dan begitu seterusnya sehingga pendidikan pesantren menjadi jamur di Indonesia. Kedua: Selain Pesantren yang Mbah Kholil tinggal di Madura –khususnya, ia juga meninggalkan kader-kader Bangsa dan Islam yang berhasil ia didik, sehingga akhirnya menjadi pemimpin-pemimpin umat.

Beliau wafat dalam usia yang lanjut 106 tahun, pada 29 Ramadhan 1341 H/14 Mei 1923 M. Semoga amal ibadah beliau di terima oleh Allah SWT dan semoga kesalahan-kesalahan beliau juga di ampuni oleh Allah SWT. Aamiin Yaa Rabbal ‘Aalamiin…

HALAMAN 1 BERANDA