NEWS UPDATE : SITUS "PP NURUL MUSTHOFA" SEKARANG SUDAH BISA DI AKSES VIA APLIKASI ANDROID. TUNGGU UPDATE DARI KAMI. SECEPATNYA AKAN KAMI UNGGAH APK NYA UNTUK DI DOWNLOAD,,, TERIMA KASIH
INFO UPDATE
KLIK DI SINI !!
×

INFO UPDATE

  • SAMPLE ATAM 1
  • SAMPLE ATAM 2
  • SAMPLE ATAM 3

MUHAMMAD ATAMMUN NI'AM

Ruang khusus info, pengumuman dan pemberitahuan seputar Pondok Pesantren

NURUL MUSTHOFA
Pasir - Mijen - Demak

SEKIAN TERIMA KASIH

HALAMAN 3


Melalui riyadhah dan mujahadah (memerangi hawa nafsu) yang panjang, beliau telah berhasil membersihkan hati beliau dari berbagai penyakit. Tidak hanya penyakit takabur dan amarah, tapi juga penyakit lainnya. Beliau sudah berhasil menghalau rasa iri dan dengki. Beliau sering mengarahkan orang untuk bertanya kepada kiai lain mengenai masalah tertentu. “Sampeyan tanya saja kepada Kiai Ghofur, beliau ahlinya,” kata beliau kepada seorang yang bertanya masalah fiqih. Beliau pernah marah kepada rombongan tamu yang telah jauh-jauh datang ke tempat beliau, dan mengabaikan kiai di kampung mereka. Beliau tak segan “memberikan” sejumlah santrinya kepada KH. Abdur Rahman, yang tinggal di sebelah rumahnya, dan kepada Ustaz Sholeh, keponakannya yang mengasuh Pondok Pesantren Hidayatus Salafiyah.



Menghilangkan rasa takabur memang sangat sulit. Terutama bagi orang yang memiliki kelebihan ilmu dan pengaruh. Ada yang tak kalah sulitnya untuk dihapus, yaitu kebiasaan menggunjing orang lain. Bahkan para kiai yang memiliki derajat tinggi pun umumnya tak lepas dari penyakit ini. Apakah menggunjing kiai saingannya atau orang lain. Kiai Hamid, menurut pengakuan banyak pihak, tak pernah melakukan hal ini. Kalau ada orang yang hendak bergunjing di depan beliau, beliau menyingkir. Sampai KH. Ali Ma’shum berkata, “Wali itu ya Kiai Hamid itulah. Beliau tidak mau menggunjing (ngrasani) orang lain.”



Suatu ketika seorang Habib dari Kota Malang, ketika masih muda, yaitu Habib Baqir Mauladdawilah (sekarang beliau masih hidup), diijazahi sebuah doa oleh al-Ustadzul Imam Al-Habr al-Quthb al-Habib Abdulqadir bin Ahmad Bilfaqih, Habib Abdulqadir Bilfaqih berpesan kepada Habib Baqir untuk membaca doa tersebut ketika akan menemui seseorang agar tahu sejatinya orang tersebut siapa, orang atau bukan.

Suatu kesempatan datanglah Habib Baqir menemui seorang waliyullah di daerah Pasuruan, Jawa Timur, yang masyhur dengan nama Mbah Hamid Pasuruan. Ketika itu di tempat Mbah Hamid banyak sekali orang yang sowan kepada beliau, meminta doa atau keperluan yang lain. Setelah membaca doa yang diijiahkan, Habib Baqir merasa kaget. Ternyata orang yang terlihat seperti Mbah Hamid sejatinya bukan Mbah Hamid. Beliau mengatakan: “Ini bukan Mbah Hamid, ini adalah khodamnya. Mbah Hamid tidak ada di sini” Kemudian Habib Baqir mencari di manakah sebetulnya Mbah Hamid.

Setelah bertemu dengan Mbah Hamid yang asli, Habib Baqir bertanya kepada beliau: “Kyai, Kyai jangan begitu.” Mbah Hamid menjawab: “Ada apa Bib?” Habib Baqir kembali berkata: “Kasihan orang-orang yang meminta doa, itu doa bukan dari panjenengan, yang mendoakan itu khodam. Panjenengan di mana waktu itu?” Mbah Hamid tidak menjawab, hanya diam. Namun Mbah Hamid pernah menceritakan masalah ini kepada Seorang Habib sepuh.

Habib sepuh tersebut juga pernah bertanya kepada beliau, Saat itu Habib sepuh tersebut bertanya: “Kyai Hamid, waktu banyak orang-orang meminta doa kepada njenengan, yang memberikan doa bukan njenengan, njenengan di mana. Kok tidak ada..?” Jawab Mbah Hamid: “Hehehee.. ke sana sebentar” Habib sepuh tersebut semakin penasaran: “Ke sana ke mana Kyai?” Jawab Mbah Hamid: “Kalau njenengan pengen tahu, datanglah ke sini lagi.” Singkat cerita, Habib sepuh tersebut kembali menemui Mbah Hamid, ingin tahu di mana tempat persembunyian beliau. Setelah bertemu, bertanyalah Habib sepuh tadi: “Di mana Kyai?” Mbah Hamid tidak menjawab, hanya langsung memegang Habib sepuh tadi.

Seketika itu, kagetlah Habib sepuh tadi, melihat suasana di sekitar mereka berubah menjadi bangunan Masjid yang sangat megah. “Di mana ini Kyai?” Tanya Habib sepuh tadi. “Monggo njenengan pirsani piyambek niki teng pundi” (Silakan kamu lihat sendiri ini di mana_red) jawab Mbah Hamid. Subhanalloh, ternyata Habib sepuh tadi dibawa oleh Mbah Hamid mendatangi Masjidil Haram. Habib sepuh kembali bertanya kepada Kyai Hamid: “Kenapa njenengan memakai doa?” Mbah Hamid kemudian menceritakan: “Saya sudah terlanjur terkenal, saya tidak ingin terkenal, tidak ingin muncul, hanya ingin asyik sendirian dengan Allah, saya sudah berusaha bersembunyi, bersembunyi di mana saja, tapi orang-orang selalu ramai datang kepadaku.

Kemudian saya ikhtiar menggunakan doa ini, itu yang saya taruh di sana bukanlah khodam dari jin, melainkan Malakul Ardhi, Malaikat yang ada di bumi. Berkat doa ini, Allah Ta’ala menyerupakan malaikatNya dengan rupaku.” Habib sepuh yang menyaksikan secara langsung peristiwa tersebut, sampai meninggalnya merahasiakan apa yang pernah dialaminya bersama Mbah Hamid, hanya sedikit yang diceritakan kepada keluarganya.

Lain waktu, ada tamu dari Kendal sowan kepada Mbah Hamid. Lantas Mbah Hamid menitipkan salam untuk si fulan bin fulan yang kesehariannya berada di Pasar Kendal, menitipkan salam untuk seorang yang dianggap gila oleh masyarakat Kendal. Fulan bin fulan kesehariannya berada di sekitar pasar dengan pakaian dan tingkah laku persis seperti orang gila, namun tidak pernah mengganggu orang -orang di sekitarnya. Tamu tersebut bingung kenapa Mbah Hamid sampai menitip salam untuk orang yang dianggap gila oleh dirinya. Tamu tersebut bertanya: “Bukankah orang tersebut adalah orang gila Kyai.?” Kemudian Mbah Hamid menjawab: “Beliau adalah wali besar yang menjaga Kendal, rahmat Allah turun, bencana ditangkis, itu berkat beliau, sampaikan salamku.” Kemudian setelah si tamu pulang ke Kendal, menunggu keadaan pasar sepi, dihampirilah “orang yang dianggap gila tersebut” yang ternyata Shohibul Wilayah Kendal.

“Assalamu’alaikum…” Sapa si tamu. Wali tersebut memandang dengan tampang menakutkan layaknya orang gila sungguhan, kemudian keluarlah seuntai kata dari bibirnya dengan nada sangar: “Wa’alaikumussalam.. ada apa..!!!” Dengan badan agak gemetar, si tamu memberanikan diri. Berkatalah ia: “Panjenengan dapat salam dari Kyai Hamid Pasuruan, Assalamu’alaikum…” Tak beberapa lama, wali tersebut berkata: “Wa’alaikumussalam” dan berteriak dengan nada keras: “Kurang ajar si Hamid, aku berusaha bersembunyi dari manusia, agar tidak diketahui manusia, kok malah dibocor-bocorkan. Ya Allah, aku tidak sanggup, kini telah ada yang tahu siapa aku, aku mau pulang saja, gak sanggup aku hidup di dunia.” Kemudian wali tersebut membaca sebuah doa, dan bibirnya mengucap: “Laa Ilaaha Illallah Muhammadun Rasulullah…” Seketika itu langsung meninggallah sang Wali di hadapan orang yang diutus Mbah Hamid.

Subhanallah… begitulah para Walinya Allah, saking inginnya berasyik-asyikkan hanya dengan Allah sampai berusaha bersembunyi dari keduniawian, tak ingin ibadahnya diganggu oleh orang-orang ahli dunia, Bersembunyinya mereka memakai cara mereka masing-masing. Oleh karena itu janganlah kita su’udzon terhadap orang-orang di sekitar kita, jangan-jangan dia adalah seorang Wali yang “bersembunyi”.



Kiai Hamid, seperti para wali lainnya, adalah tiang penyangga masyarakatnya. Tidak hanya di Pasuruan tapi juga di tempat-tempat lain. Beliau adalah sokoguru moralitas masyarakatnya. Beliau adalah cermin (untuk melihat borok-borok diri), beliau adalah teladan, beliau adalah panutan. Beliau dipuja, di mana-mana dirubung orang, ke mana-mana dikejar orang (walaupun beliau sendiri tidak suka, bahkan marah kalau ada yang mengkultuskan beliau).

Bagaimanapun beliau manusia biasa (Rasulullah pun manusia biasa), yang harus merasakan kematian. Sabtu 9 Rabiul Awal 1403 H, bertepatan dengan 25 Desember 1982 M, menjadi awal berkabung panjang bagi msyarakat muslim Pasuruan, dan muslim di tempat lain. Hari itu, saat ayam belum berkokok, hujan tangis memecah kesunyian di rumah dalam kompleks Pesantren Salafiyah.

Setelah jatuh anfal beberapa hari sebelumnya dan sempat dirawat di Rumah Sakit Islam (RSI) Surabaya karena penyakit jantung yang akut, beliau menghembuskan nafas terakhir. Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un.

Umat pun menangis. Pasuruan seakan terhenti, bisu, oleh duka yang dalam. Puluhan, bahkan ratusan ribu orang berduyun-duyun membanjiri Pasuruan. Memenuhi relung-relung Masjid Agung Al-Anwar dan alun-alun kota, memadati gang-gang dan ruas-ruas jalan yang membentang di depannya. Mereka, dalam gerak serentak, di bawah komando seorang imam, KH. Ali Ma’shum Jogjakarta, mengangkat tangan “Allahu Akbar” empat kali dalam salat janazah yang kolosal.Semoga amal ibadah beliau di terima oleh Allah SWT dan semoga kesalahan-kesalahan beliau juga di ampuni oleh Allah SWT. Aamiin Yaa Rabbal ‘Aalamiin…

HALAMAN 1 HALAMAN 2 BERANDA