NEWS UPDATE : SITUS "PP NURUL MUSTHOFA" SEKARANG SUDAH BISA DI AKSES VIA APLIKASI ANDROID. TUNGGU UPDATE DARI KAMI. SECEPATNYA AKAN KAMI UNGGAH APK NYA UNTUK DI DOWNLOAD,,, TERIMA KASIH
INFO UPDATE
KLIK DI SINI !!
×

INFO UPDATE

  • SAMPLE ATAM 1
  • SAMPLE ATAM 2
  • SAMPLE ATAM 3

MUHAMMAD ATAMMUN NI'AM

Ruang khusus info, pengumuman dan pemberitahuan seputar Pondok Pesantren

NURUL MUSTHOFA
Pasir - Mijen - Demak

SEKIAN TERIMA KASIH

Wednesday, January 31, 2018

KISAH NABI KHIDIR

'AINUL KHAYAT AIR KEHIDUPAN



Sultan Iskandar Zulkarnain


Kisah ini diriwayatkan oleh Imam Ats-Tsa'labi rohmatulloh 'alaih yang diperoleh dari Sayyidina 'Aly bin Aby Tholib RA.
Bermula dari Sultan Iskandar Zulkarnain yang di segani dan ditakuti oleh seluruh dunia pada zamannya. Walau demikian ia bukanlah Raja yang sombong. Namun salah satu Manusia yang beriman dan bertaqwa kepada ALLAH SWT.

Perjalanan Ke Tepi Bumi


Suatu ketika Sultan Iskandar Zulkarnain berjalan diatas bumi menuju ke tepi bumi. ALLOH memerintahkan seorang Malaikat bernama Rofa'il As untuk mendampingi Sultan Iskandar Zulkarnain. Di tengah perjalanan mereka berbincang- bincang. Sultan Iskandar Zulkarnain berkata kepada Malaikat Rofa'il "wahai Malaikat Rofa'il ceritakan lah kepada ku tentang ibadah para Malaikat di langit ". Malaikat berkata "ibadah para Malaikat di langit di antaranya ada yang berdiri tidak mengangkat kepalanya selama-lamanya, ada yang rukuk tidak mengangkat kepala selamanya dan ada yang sujud tidak mengangkat kepalanya selamanya " Mendengar keterangan itu Sultan tertegun. Dalam fikiran beliau punya keinginan melakukan hal yang sama seperti para Malaikat, yaitu beribadah kepada ALLAH melebihi Malaikat sebagai rasa syukur atas anugerah kebesaran yang diberikan ALLAH kepada nya. Namun apakah bisa melakukan ibadah hingga hari kiamat seperti para Malaikat?? sebab semua manusia pasti akan mati!! Keinginan nya itu di katakan kepada Malaikat Rofa'il. Lalu Malaikat Rofa'il berkata "sesungguhnya ALLAH telah menciptakan sumber air di bumi namanya 'ainul khayat (sumber air kehidupan). Barang siapa yang meminumnya seteguk maka tidak akan mati sampai hari kiamat. Kecuali ia memohon kepada ALLAH agar di matikan". Kemudian Sultan bertanya kepada Malaikat Rofa'il "apakah kau tahu tempat air kehidupan itu????". Malaikat Rofa'il menjawab "sesungguhnya 'ainul khayat itu berada di bumi yang gelap". Malaikat Rofa'il dalam memberikan keterangan hanya sepotong sepotong sebab bahasa dan pengetahuan yang diberikan ALLAH hanya berupa simbol simbol yang masih misteri. Dan setelah itu Malaikat Rofa'il pun pergi.

Mencari 'Ainul Khayat


Setelah mendapat keterangan dari Malaikat Rofa'il Sultan segera mengumpulkan para 'alim ulama. Sultan bertanya kepada mereka tentang air kehidupan. Para ulama tidak ada yang tahu kabar keberadaan nya namun salah seorang yang 'alim di antara mereka mengatakan "sesungguhnya aku pernah membaca di dalam wasiat Nabi Adam As, beliau berkata bahwa sesungguhnya ALLAH meletakkan air kehidupan itu di bumi yang gelap". Sultan menanyakan dimana kah tempat bumi yang gelap itu??? Seorang yang 'alim menjawab "yaitu di tempat keluarnya matahari". Maka Sultan bersiap siap mendatangi tempat itu. Dalam kondisi seperti ini Malaikat Rofa'il pun hadir. Lantas Sultan bertanya kepada sahabat nya itu tentang kuda apa yang sangat tajam penglihatan nya di waktu gelap. Diberikan keterangan yaitu kuda betina yang perawan. Kemudian Sultan memerintahkan pada para prajurit nya untuk mengumpulkan 1000 ekor kuda betina yang masih perawan. Setelah itu memilih para prajurit dan cendikiawan dari 6000 orang yang ahli berkuda. Diantaranya adalah Nabi Khidzir As yang menjabat sebagai perdana menteri. Setelah persiapan matang perbekalan dan lainnya siap akhirnya Sultan Iskandar dan rombongan berangkat. Nabi Khidzir As berjalan di barisan terdepan memimpin rombongan. Arah terbitnya matahari itu berada di arah kiblat saat ini dari wilayah kerajaan Sultan Iskandar waktu itu.

Benda Langit


Setelah 12 tahun menempuh perjalanan akhirnya sampai juga di tepi bumi yang gelap. Ternyata gelapnya bukan seperti gelapnya malam. Tetapi memancar seperti kabut. Dan pasukan berjalan menerobos kegelapan namun semakin lama semakin gelap. Dalam perjalanan di sepanjang jalan yang dilalui banyak terdapat kerikil kerikil gemerlapan memancarkan cahaya merah kuning dan biru laksana bintang bintang di angkasa. Untuk mencari tahu Sultan Iskandar pun menanyakan kepada Malaikat Rofa'il dan diberikan jawaban bahwa benda benda gemericik yang gemerlapan itu apabila seseorang mengambil nya niscaya ia akan menyesal dan apabila tidak mengambil nya ia pun akan menyesal juga. Untuk mengatasi rasa penasaran Sultan Iskandar pun mengambil nya, dalam kegelapan terasa seperti batu. Maka benda itu di bawa ke tempat yang terang, terkejut Sang Sultan karena ternyata benda tersebut adalah benda benda langit Manikam, Yakut Merat, Zamrud dan lainnya. Maka Sultan pun kembali dan memunguti benda benda yang berkilau itu. Dan di masukkan ke dalam karung bekas wadah perbekalan. Akibatnya perjalanan semakin berat.

Ilmu Laduni


Nabi Khidzir selaku pimpinan rombongan berkali-kali memperingatkan Sultan bahwa perjalanan masih jauh. Hendaknya benda benda itu ditinggalkan saja untuk meringankan beban. Permata yang berkarung karung sedikit demi sedikit dikurangi. Namun perjalanan terasa makin jauh dan bumi terlihat makin gelap. Sultan yang perkasa pun lama kelamaan kondisi nya semakin melemah dan tidak kuat meneruskan perjalanan. Akhirnya memutuskan untuk kembali ke negerinya tanpa hasil. Sementara Nabi Khidzir tetap meneruskan perjalanan.
Di riwayat kan Nabi Khidzir akhirnya menemukan 'Ainul Khayat. Sebab dalam perjalanan beliau menerima Wahyu dari ALLAH bahwa air itu untuknya, beliau yang dipilih ALLAH. Begitu sampai di sumber 'Ainul Khayat perjalanan Nabi Khidzir diperintahkan berhenti. Sebab di sebelah kanan terdapat jurang yang menyerupai lembah. Di tempat itulah 'Ainul Khayat berada. Maka dilepaskan lah terompah dan pakaian beliau serta minum dan mandi di air kehidupan tersebut.

Ada sebuah penafsiran bahwa perjalanan mencari air kehidupan merupakan kiasan. Yaitu menggambarkan perjalanan rohani menuju sisi ALLAH. Dalam menempuh perjalanan rohani harus meninggalkan jubah keduniawian harta benda dunia. Itu sebabnya Nabi Khidzir memperingatkan Sultan Iskandar yang sudah Kaya raya untuk meninggalkan permata dan berlian yang dipungutinya. Perjalanan rohani tidak bisa terbebani sedikit pun urusan dunia. Baik dlm fikiran maupun perasaan. Sultan Iskandar walaupun Raja yang beriman dan bertaqwa tidak mampu menempuh perjalanan rohani. Penyebab nya masih membawa beban kekuasaan dan harta duniawi. Kerena beban duniawi masih berat baginya, maka ia pun kembali. Perihal ini tidak tertulis dan tidak tersirat. Tetapi harus dipelajari dan di pahami. Hal tersebut pernah diwejangkan Nabi Khidzir As kepada Nabi Musa As. Nabi Khidzir yang memperoleh Wahyu berhasil mendapatkan ilmu di sisi ALLAH. Yang lazim disebut ilmu LADUNI (rahmat sekaligus mukjizat) Memang itu semua kehendak ALLAH. Namun kehendak itu harus di tempuh melalui jalan rohani oleh hamba hamba ALLAH.

Sekiranya riwayat tsb bisa kita ambil pelajaran untuk kita semua dlm menjalani kehidupan dan beribadah.... ibadah tidak cukup hny mengedepankan syariat namun hakikat pun di perlukan untuk alam batiniyah kita.



BERANDA

FILSAFAT JAWA

FILSAFAT PEWAYANGAN



Dakwah Para Wali


Di dalam berdakwah agama islam di tanah jawa para wali tidak meninggalkan kultur budaya yang ada di masyarakat tanah jawa. Kesenian berbagai macam bentuk yang ada di tanah jawa semua itu adalah sarana dakwah yang sangatlah berarti. Nilai-nilai filsafat kehidupan dan agama di tanamkan melalui seni dan budaya. Salah satu di antaranya adalah seni pewayangan.
Di dalam dunia pakeliran di kenal dgn istilah wayang purwo yang berarti owah-owahaning tiyang kuno. (sejarah masa lalu dari manusia)
Di dalam pagelaran wayang ada dalang (ngudal piwulang/ memberikan pelajaran) kelir sebagai simbol alam ini. Wayang yang terletak pada dua sisi menyiratkan tentang dua sisi kehidupan. Tempat tertancapnya wayang sebagai gambaran bumi yang kita pijak. Lampu yang terletak di atas belakang dalang sebagai simbol penerangan agama.

Tokoh Dalam Wayang


Dan nama tokoh dalam pewayangan jawa pun itu sebagai ajaran filsafat keagamaan. Kita ambil contoh dalam cerita Mahabarata.
Prabu Yudistira sebagai simbol rukun islam yang pertama dengan pusaka Jamus Kalimasada (kalimah syahadat).
Sifat Puntodewo yang ikhlas lego lilo lahir tumusing batin mencerminkan jiwa dan watak manusia yang memegang teguh syahadat.Ketauhidan yang kuat akan membuat manusia pasrah dan taat.
Bima/Werkudoro simbol rukun islam ke dua yaitu sholat. Di dalam sholat ketika membaca kalimat takbir (takbirotul ihrom) tiada yang lebih agung kecuali ALLAH. Dalam filsafat wayang jawa Bima tidak bisa berbahasa dengan halus (kromo inggil) itu sebagai gambaran orang yang sholat hanya menghadap ALLAH. Pusaka werkudoro adalah kuku ponconoko. Itu pun bentuk filsafat jawa kuku (kukuh) ponco (limo) noko (landep) yang puny arti "menowo pingin kukuh agamamu sholat limang wektu lakonono, Yekti bakal ijabah panyuwunanmu".

Dlm hadist di jelaskan:
الصلاة عماد الدين فمن أقامها فقد أقام الدين ومن تركها فقد هدم الدين

Arjuna sebagai simbol rukun islam puasa. Di gambarkan dalam pewayangan jawa Arjuna sebagai satria yang suka tirakat berpuasa yang dari hal tersebut banyak pusaka dan juga istri. Arjuna berasal dari kata bahasa arab yang berarti harapan. Dengan puasa kita mengharapkan ridho alloh. Puasa tidak di jelaskan tentang pahalanya.

Dalam hadist Qudsy di riwayatkan :
الصيام لي وأنا اجزى به
Nakula dan Sadewa sebagai "Satriyo Kembar Kemanikan" . Itu sebagai simbol rukun islam zakat dan haji yang kedua nya sama kedudukan nya... yaitu hanya bagi orang yang mampu menjalankan nya. Mampu dalam arti zakat yang dinamakan nishob dan dalam haji adalah biaya dan pengetahuan tentang ibadah haji. Namun dalam filsafat pewayangan umat islam tidak hanya menjalankan hal yang wajib. Maka di gambar kan Puntodewo punya anak yang bernama Poncowolo. Sebagai simbol orang yang sudah bersyahadat belum akan menjadi seorang muslim jika belum menjalankan sholat lima waktu. Bima punya anak Antareja dari bahasa arab (انت رجاء) yang punya arti orang yang sholat itu punya pengharapan di kehidupan yang akan datang dunia akhirat. Arjuna punya istri Dewi Dersonolo dari bahasa arab (درس نال) yang berarti membaca terus. Dengan makna ormrang yang puasa belum akan sempurna jika tidak membaca Al-Qur'an, Wiridan dll. Perkawinan tersebut menurunkan Wisanggeni dari bahasa arab (وسيع غني) yang berarti lapang dan kaya. Semua itu adalah filsafat walisongo jika manusia ingin punya keleluasaan dan kaya haruslah banyak puasa riyadhoh serta baca Al-Qur'an dan wiridan.

Tentu saja mengamalkan ibadah ajaran agama pasti penuh cobaan... walisongo menggambarkan godaan tersebut dengan Kurawa yang berjumlah 100 sebagai simbol sifat keburukan manusia. Di antaranya Duryudana (duro ing prayudan) yang berarti org yang picik licik dlm berjuang dan mementingkan diri sendiri dan golongan.
Dursasana (duro ing sasono) orang yang selalu bohong dimanapun dan demi kepentingan nya

Itulah sepenggal kecil dari ajaran filsafat agama lewat seni pewayangan yang di ajarkan oleh walisongo. Semoga kita bisa belajar dgn semua itu



BERANDA

Monday, January 15, 2018

AS SYAIKH ABUL HASAN

ALI AS SYADZILY ALHASANI



Nasab Beliau


Pada tahun 593 H./1197 M. lahir bayi mungil yang kelak masyhur akan kewaliannya. Bayi itu lahir di Afrika utara bagian ujung paling barat, tepatnya di desa Ghemaroh, negeri Maghrib al-Aqso/Maroko. Putra dari sayyid Abdullah Ini kemudian diberi nama Ali. Ia masih keturunan dari baginda nabi Muhammad SAW melalui jalur Sayyidina Hasan bin Sayyidina Alin bin Abi Tolib

Berikut ini nasab Abu Hasan Asy-Syadzili: Abul Hasan Ali, bin Abdullah bin Abdul Jabbar, bin Tamim, bin Hurmuz, bin Chatim, bin Qushay, bin Yusuf, bin Yusya', bin Ward, bin Ali Baththal, bin Ahmad, bin Muhammad, bin Isa, bin Idris Al Mutsanna, bin Idris, bin Abdillah, bin Muhammad Hasan Al Mutsanna, bin Hasan, bin Ali bin Abi Thalib suami Fatimah binti Rasulullah SAW.

Pendidikan awal Ali kecil langsung dibimbingan sendiri oleh kedua orang tuanya. Sejak itu pula sudah tampak dari dirinya budi pekerti luhur, kata-katnya fasih dan santun, memiliki cita-cita yang tinggi, dan gemar mencari ilmu. Sehinnga, tak mengherankan di umur yang relative belia, ia sudah mulai berkelana meninggalkan ayah ibu untuk rihlah menuntut ilmu.

Bertemu Nabi Khidir


Setelah mengenyam pendidikan dari orang tuanya, Ali pergi menuju Tunis (sekarang ibu kota negara Tunisia, Afrika Utara). Saat itu, usianya baru menginjak 6 tahun. Setibanya di sana, ia mendapati negara tersebut sedang dilanda paceklik dan kelaparan. Banyak ditemukan mayat di tengah jalan dan pasar-pasar. Terbesitlah di hati Ali, “Andaikan saya punya uang, saya akan membeli roti untuk mereka.” Seketika itu Allah mengisi saku Ali dengan banyak uang. Ia pun bergegas membelanjakan uang tersebut. Kemudian dibagikannya kepada orang-orang yang sedang kelaparan.

Kebetulan hari itu adalah hari Jum’at. Setelah selesai dari aktifitas sosialnya, ia kemudian mencari masjid Jami’. Ia segera mengawali dengan dua raka’at tahyatul-masjid saat memasuki nya. Setelah salam, tidak disangka, di samping kanan Ali telah hadir seseorang yang tampaknya sudah menanti. Lalu Ali mengucapkan salam kepadanya. Orang itu tersenyum. “Tuan, siapa Anda?”Tanya Ali polos.” Saya Khidhir, Allah memerintahkanku untuk menemui kekasih-Nya di Tunis. Namanya Ali. Maka saya segera menemui Anda.” Jawab orang itu. Percakapan mereka belum panjang, namun shalat harus segera didirikan. Seusai shalat, ternyata nabi Khidhir telah raib entah ke mana. Tampaknya, Khidhir datang sekadar memberi tahu bahwa Ali telah terpilih sebagai kekasih Allah

Mencari Pembimbing Jiwa


Berguru kepada Syaikh al-Baji Setelah peristiwa itu, Ali segera menuju seseorang yang dikenal wali, yaitu Syaikh Abi Sa’id al-Baji. Ia bermaksud menanyakan tentang ihwal yang menimpanya tadi. Namun, Syaikh al-Baji sudah tahu maksud kedatangan Ali. Ia juga menyampaikan terlebih dahulu tentang apa yang hendak dicerikatan Ali kepadanya.

Setelah itu, Ali tinggal bersamana beliau. Ia belajar berbagai disiplin ilmu pengetahuan kepada Sayikh al-Baji.Ali kecil tinggal bersama syaikh al-Baji hingga beranjak dewasa. Dikarnakan sangat dekatnya Ali kepada gurnya itu, kemudian ia sering mendampingi sang guru naik haji.

Meskipun sudah bertahun-tahun menimba ilmu kepada syaikh Abi Said al-Baji, kehausan Ali muda akan ilmu makin mendahaga. Maka, ia memantapkan hati untuk meniti sebuah jalan (toriqoh) sekaligus ingin mencari wali al-Quthb sebagai pembimbing. Lalu, ia beranikan diri untuk pamit kepada gurunya dan memohon doa.

Mencari Sang Quthb


Dengan tekat yang kuat Ali muda berangkat menuju kota kelahiran Islam, Makkatul- Mukarramah. Tujuan pertamanya datang ke pusat negeri Islam ini adalah mencari wali Quthb yang akan dijadikannya sebagai pembimbing spiritual. Namun, setelah berbulan-bulan ia menetap Mekah, wali yang beliau cari tak kunjung ketemu. Hingga, pada suatu ketika, seorang ulama memberitahukan bahwa wali Quthb yang ia cari berada di Iraq.

Sesampainya di Iraq, Ali sibuk bertanya dan mencari kesana-kesini, namun tak ada seorang pun yang tahu keberadaan sang wali di negeri tersebut. Memang, setelah wafanya Syaikh Abdul Qodir al-Jailani keberadaan wali Quthb cenderung disamarkan. Sedangkan selisih antara wafatnya Syaikh Abdul Qodir al-Jailani dan kelahiran Ali asy-Syadzily terpaut 32 tahun.

Meskipun demikian, Ali muda tak patah semangat. Suatu ketika, ia mendengar tentang kewalian pemimpin tarekat Rifaiyah yang bernama Syaikh ash-Shodiq Abul Fath al-Washiti .Syaikh Abul Fath al-Washiti adalah orang yang sangat disegani dan memiliki pengikut yang sangat besar di Iraq. Segeralah Ali asy-Syadzily menemuinya dan bertanya keberadaan wali Qutbh. Mendengar penuturan Ali, syaikh Abul Fath berkata, “Kau susah payah mencari wali Quthb di Iraq, padahal beliau berada di negerimu sendiri. Pulanglah! dan temui beliau di sana”.

Sambutan Sang Wali


Setelah mendengar petunjuk dari Syaikh Abul Fath al-Washiti, maka Ali segera pulang untuk menemui sang Quthb. Sesampainya di Maroko, beliau kembali bertanya-tanya tentang keberadaannya. Tak lama kemudian, terdengar bahwa sang wali sedang menyendiri di dalam gua di salah satu puncak gunung Maroko. Wali itu bernama Syaikh al-‘Arif ash-Shiddiq al-Quthb al-Ghauts Abu Abdillah Abdus Salam bin Masyisy Almaghroby Alhasany.

Sesampainya di lereng gunung, Ali segera membersihkan diri. Beliau mandi di mata air lereng gunung tersebut untuk memuliakan sang wali. Saat itu, ilmu dan amalnya terasa jatuh berguguran bersamaan dengan aliran air yang membasuh tubuhnya; seakan ia terlahir kembali sebagai seorang faqir.

Syahdan, hadir di hadapannya, sesosok manusia yang tampak sudah lanjut usia. Ali terkejut dan tidak tahu dari arah mana datangnya. Namun, dari sinar wajahnya menunjukkan bahwa orang tersebut memiliki derajat kesalehan dan ketakwaan yang amat luhur. Setelah uluk salam beliau mengucapkan selamat datang. “Marhaban…Ya, Ali bin Abdullah bin Abdul Jabbar bin Tamim bin…” Dan seterusnya.

Syaikh Abdus Salam al-Masyisy menyebutkan nasab beliau hingga Rosulullah SAW setelah itu, Syaikh Abdus Salam al-Masyisy berkata, “Ya Ali, engkau datang kepadaku dalam keadaan faqir dari ilmu dan amalmu, maka engkau akan mengambil dariku kekayaan dunia dan akhirat.” Dengan demikian, Ali percaya bahwa orang yang berada di hadapannya adalah orang yang dicarinya selama ini.

“Wahai anakku, puji syukur hanya bagi Allah yang telah mempertemukan kita pada hari ini. Ketahuilah wahai anakku! Sesungguhnya, sebelum engkau datang ke sini, Rosullah SAW telah memberi tahu tentang dirimu dan bahwa kamu akan datang hari ini. Selain itu, aku juga mendapat tugas untuk membingbingmu. Oleh karna itu, ketahuilah kedatanganku ke sini memang untuk menyambutmu”. Sambut Syaikh Abdus Salam al-Masyisy.

Kehidupan Wali Agung


Syaikh Abul Hasan asy-Syadzaili (pangilan akrab beliau) kemudian belajar dan tinggal bersama gurunya tersebut. Selama berguru kepada Syaikh Abdus Salam al-Masyisy, beliau banyak menyerap hikmah dan lanturan-lanturan, utamanya yang berkenaan dengan penjagaan hati dan pendekatan deiri kepada Allah

Namun yang terpenting dari apa yang beliau dapatkan dari sang guru adalah ijzah dan bayat suta Thoriqoh yang bemudian dikenal dengan Syadziliyah.

Setelah itu, sang guru memetakan hidup yang akan beliau jalani selanjutnya. Guru pembingbingnya itu berkata, “Wahai. Ali, pergilah ke Afrika dan tinggalah di suatu tempat yang bernama Syadzilah. Karna Allah akan memberi nama asy-Syadili untukmu.

Setelah itu, pergilah ke kota Tunis, di kota itu engkau akan disakiti oleh pihak kerajaan. Lau pindahlah ke negeri timur (Mesir), di negeri itu engkau akan memperoleh qutbâniyah (gelar wali quthb)”.

Sebelum beliau benar-benar pergi dan berpisah dengan gurunya tercinta, Syaikh Abu Hasan Asy-Syadzili meminta kepada gurunya agar memberi nasihat dan wasiat yang terakhir. Lalu sang guru berkata, “Wahai Ali, takutlah kepada Allah dan berhati-hatilah terhadap manusia.Sucikan lisanmu dari menyebut kejelekan mereka, serta sucikanlah hatimu dari condong pada mereka. Jagalah anggotamu (dari maksiat) dan kerjakanlah kewajibanmu.Dengan demikian, sungguh telah sampurna kewalianmu.”

Meraih Gelar Quthbaniyyah


Mengapa asy-Syadlili? Sesuai titah sang guru, kemudian Syaikh Abul Hasan asy-Syadlili pergi menuju Afrika dan tinggal di sebuah tempat yang bernama Syadzilah (terletak di wilayah negeri Tunisai). Di tempat inilah beliau mulai dikenal masyarakat luas hingga masyhur dengan sebutan Asy-Syadzili.

Namun, ada cerita lain yang menarik tentang penisbatan asy-Syadili kepada beliau. Suatu hari beliau bertanya tentang penisbatan tersebut. “Ya Allah, kenapa Engkau beri nama aku dengan asy-Syadili, padahal aku bukan orang Syadlilah?”. Tanya beliau. Maka dikatakanlah, “Ya Ali, Aku tidak memberi nama kepadamu dengan asy-Syadlili tapi kamu adalah asy-syâdl-lî dengan dibaca tasydîd dzâl-nya (yang jarang bagiku), yakni karena keistimewaanmu untuk menyatu mencintai-Ku dan berkhidmah kepada-Ku.”

Sesampainya di Syadilah, orang-orang menyambut beliau dengan hangat; seakan Syaikh Abul Hasan sudah dinanti-nantikan kedatangannya. Namun beliau tinggal di Syadilah tidak terlalu lama. Beliau segera bergegas menuju bukit zaghwag di luar desa Syadlilah dengan ditemani salah satu muridnya, Abu Muhammad Abdullah bin Salma Al-Habibi, untuk menyempurnakan ibadah beliau.

Selama berada di bukit, banyak keajaiban yang disaksikan oleh Al-Habibi. Ia melihat (dengan mata batin) bahwa malaikat mengerumuni Syaikh Abul Hasan asy-Syadlili bahkan sebagian dari malaikat itu ada yang berjalan dan berbincang-bincang dengan beliau. Begitu juga tak asing bagi al-Habibi menyaksikan para auliya berdatangan mengunjungi beliau.

Setelah sekian tahun di Zaghwah, beliau mendapat perintah dari Allah agar segera turun. Maka tibalah saatnya, beliau pergi ke kota Tunis seperti yang dipetakan oleh gurunya untuk menemui masyarakat.

Mendapat Ujian


Setibanya di kota Tunis, beliau tinggal di sebuah masjid. Masyarakat pun segera berbondong-bondong mengunjungi majlis beliau. Tidak hanya masyarakat umum, kalangan alim ulama juga ikut serta menimba ilmu kepadanya, diantaranya:
As Syaikh Abul Hasan Ali bin Makhluf as-Syadlili
As Syaikh Abu Abdullah ash-Shobuni
As Syaikh Abu Muhammad Abdul Azizi Azzaituni
As Syaikh Abu Abdullah al-Bajj’i al-Khayyat
As Syaikh Abi Abdullah al-Jarihi

Kebesaran Syaikh Abul Hasan asy-Saydilli kemudian terdengar oleh Ibnul Barro’. Dia adalah kadi (hakim agama) agung di Tunis. Meskipin termasuk dalam jajaran fuqahâ’, namun di sisi lain dia memiliki sifat buruk. Ibnul Barro’ dengki terhadap Syaikh Abul Hasan. Ia takut jabatan dan wibawanya hilang sebab kehadiran Syaikh Abul Hasan di Tunis.

Kemudian dia datang untuk mendebat beliau, tapi tidak bisa. Ketinggian ilmu syaikh Abul Hasan dapat menjawab berbagai kemusykiran nyeleneh dari Ibul Barro’. Mulai saat itu, Ibnul Barro’ mulai melancarkan berbagai fitnah terhadap Syaikh Abul Hasan Asy-Syadzili kepada Sultan Abu Zakaria. Ia katakan bahwa ada orang penggiring himar dari Syadlilah yang mengaku orang mulia, banyak pengikutya, dan membuat keonaran di kota Tunis

Mendengar pengaduan tersebut, Abu Zakaria mengumpulkan para pakar fikih. Ibnul Barro’ juga hadir bersama mereka. Sedangkan sultan Zakaria berada di tempat tertutup yang tidak bisa terlihat.

Terjadilah perdebatan antara fuqahâ’ tersebut dengan Syaikh Abil Hasan As Syadzili Semua pertanyaan dari mereka dapat dijawab oleh beliau. Namun tidak sebaliknya; tak satu pun yang dapat menjawab pertanyan Syaikh Abul Hasan. Dari sana, sultan Abu Zakaria tahu bahwa Syaikh Abul Hasan asy-Syadzili adalah wali besar. Sultan berkata kepada Ibnul Barro’, “ ini adalah seorang wali besar, kamu tidak akan bisa mengalahkannya”. Namun, kedengkian Ibnul Barro’ bukannya terobati dengan peristiwa tersebut. Konon, ilmu yang dimiliki Ibnul Barrok lenyap tidak tersisa. Dan wafat dalam keadaan nista.

Suatu waktu, terbesitlah di hati Syaikh Abul Hasan asy-Syadlili untuk menunaikan ibadah haji. Beliau berseru kepada murid-muridnya untuk sementara waktu hijrah ke negeri sebelah timur. Sambil menunggu datangnya bulan haji, beliau bersama santri-santrinya bersiap-siap untuk melakukan perjalanan jauh menuju Mesir.

Dalam perjalanan ke Mesir, fitnah Ibnul Barro’ masih juga menyelimuti. Dia mengadu kepada pihak kerajaan Mesir bahwa Syaikh Abil Hasan asy-Syadlili telah membuat kekacauan di kota Tunis. Syaikh Abul Hasan tentunya akan melakukan hal yang sama kepada negeri Mesir. Karena pengaduan tersebut, Sultan Mesir mempermasalahkan kedatangan beliau. Namun pada akhirnya, fitnah tersebut teratasi dan Syaikh Abul Hasan asy-Syadlili memaafakan kekhilafan Sultan Mesir itu.

Seusai haji, Syaikh Abul Hasan asy-Syadlili kembali ke Tunis untuk melanjutkan dakwah. Beliau membangun sebuah zawiyah (pondok) sebagai bengkel ruhani. Zawiyah tersebut semakin ramai dari hari ke hari. Tercatat bahwa ini adalah zawiyah pertama Syaikh Abul Hasan dan didirikan pada tahun 625 H./1228 M.

Mendapat Gelar Quthb


Selanjutnya, Asy-Syaikh Abu Hasan Asy-Syâdzili menanti datangnya perintah yang ke tiga. Dalam penantian itu, Syaikh Abul Hasan asy-Syadlili bermimpi ketemu Rosululloh SAW dan Rosulullah SAW berkata, “Ya Ali, sudah saatnya engkau meninngalkan negeri ini. Sekarang pergilah ke negeri Mesir. Dan ketahuilah, selama dalam perjalanan, Allah akan menganugrahkan kepadamu tujuh puluh karomah. Selain itu, kelak engkau akan mendidik empat puluh dari wali shiddiqîn.”

Dengan demikian tibalah saatnya beliau menapaki perjalanan selanjutnya sebagaimana yang dipetakan sang guru. Lalu, beliau berangkat menuju negeri Mesir. Beliau bersama rombongannya tiba di negeri piramid itu pada tanggal 15 Sya’ban (Nisfu Sya’ban).

Diceritakan bahwa ketika beliau menginjakkan kakinya di atas bumi Mesir, bersamaan dengan takdir AllahI untuk memanggil ruh wali Quthb di negara itu, yaitu bersamaan dengan wafatnya asy-Syaikh Hajjaj al-Aqshory, atau yang lebih terkenal dengan sebutan Qhûtuz Zamân (pimpinan Wali Mesir)

Dan saat itu pula, Allah mengangkat derajat Syaikh Abul Hasan asy-Syadzili sebagai Quthb menggantikan Syaikh Hajjaj al-Aqshori

Zawiyah Syadziliyah


Sesampainya di Mesir, beliau langgsung menuju kota Iskandariah Kedatangan beliau di kota tersebut langsung disambut hangat oleh Sultan Mesir dan penduduk setempat, termasuk para Ulama negeri tersebut.

Mereka semua, dengan wajah beseri-seri menjabat tangan beliau. Perjumpaan masyarakat dengan Syaikh Abul Hasan asy-Syadzili tampak seperti pertemuan keluarga yang lama terpisah. Rasa ridu yang sempat tertahan kini telah terobati.

Lantunan syair dan madah membahana, tangis kebahagiaan pun terdengar. Kegembiraan menyeluruh ke pelosok Negri keberkahan dan kemakmuran pun bertambah.

Karena rasa bahagia yang besar atas kedatangan Syaikh, sultan Mesir memberikan sebuah tempat tinggal di Iskandaria dengan nama Buruj As-sur. Tempat tinggal tersebut berada di pesisir laut tengah negeri Mesir. Di komplek beliau tinggal itu telah dibangun Masjid besar dan bilik-bilik tempat para murid beliau Uzlah dan suluk.

Beliau juga rutin mengajar dan menyebarkan panji-panji Islam kepada masyarakat di kota Kairo, pusat kerajaan Mesir. Tampaknya, dakwah beliau disambut baik oleh masyarakat luas, tidak hanya kota Iskandaria dan Kairo. Hari demi hari, pengajian beliau terus dibanjiri oleh para penuntut ilmu dan peniti jalan ilahi. Begitu juga Thoriqoh Syadziliyah yang sebelumnya hanya diikuti oleh penduduk setempat, mulai menyebar ke berbagai penjuru dunia.

Berjuang Dengan Pedang


Dikisahkan, saat itu raja Prancis LOUIS IX memimpin tentara salib untuk membasmi kaum muslimin sekaligus menghanguskan ajaran Islam dari muka bumi. Ia hendak menaklukkan seluruh jazirah Arab di bawah telapak kakinya. Maka asy-Syekh Abul Hasan asy-Syadzili yang saat itu telah berusia 60 tahun lebih dan sudah dalam keadaan hilang penglihatan, tidak ketinggalan berjuang bersama pejuang lainnya. Selain Syaikh Abul Hasan, tidak sedikit dari Ulama termuka saat itu yang juga ikut membantu berjuang, diantaranya Syaikh Izzuddin bin Abbdussalam, Syaikh Majduddin bin Taqiyuddin Ali bin Wahab al-Qusyairi, dan Syaikh Majduddin al-Ikhmimi.

Beliau dan para pejuang lainnya berpeluh darah di siang hari namun tetap berselimut dzikir pada malamnya. Maka dengan kegigihan dan doa, kaum muslimin meraih kemenangan pada bulan Dzul Hijjah tahun 655 H/1257 M. Dan Raja LOUIS IX serta para panglimanya berhasil ditangkap dan ditahan.

Sebelum kemenangan itu, beliau memimpikan Rasulullah SAW dalam mimpinya Rasulullah SAW berpesan kepada beliau supaya memperigati Sultan agar tidak mengangkat pemimpin yang zalim. Rasulullah SAW juga menyampaikan bahwa kemenangan ada di pihak muslimin. Lalu Syaikh Abu Hasan mengabarkan mimpi tersebut. Baru kemudian mimpi Syaikh menjadi nyata setelah setelah sultan mengganti para pejabat yang zalim.

Di antara Ungkapan Mutiara Syekh Abul Hasan Asy-Syadili Alhasany

1. Tidak ada dosa yang lebih besar dari dua perkara ini :
Pertama, senang dunia dan memilih dunia mengalahkan akherat.
Kedua, ridha menetapi kebodohan tidak mau meningkatkan ilmunya.

2. Sebab-sebab sempit dan susah fikiran itu ada tiga :
Pertama, karena berbuat dosa dan untuk mengatasinya dengan bertaubat dan beristiqhfar.
Kedua, karena kehilangan dunia, maka kembalikanlah kepada Allah swt. sadarlah bahwa itu bukan kepunyaanmu dan hanya titipan dan akan ditarik kembali oleh Allah swt.
Ketiga, disakiti orang lain, kalau karena dianiaya oleh orang lain maka bersabarlah dan sadarlah bahwa semua itu yang membikin Allah swt. untuk mengujimu.

Kalau Allah swt. belum memberi tahu apa sebabnya sempit atau susah, maka tenanglah mengikuti jalannya taqdir ilahi. Memang masih berada di bawah awan yang sedang melintas berjalan (awan itu berguna dan lama-lama akan hilang dengan sendirinya). Ada satu perkara yang barang siapa bisa menjalankan akan bisa menjadi pemimpin yaitu berpaling dari dunia dan bertahan diri dari perbuatan dhalimnya ahli dunia. Setiap karomah (kemuliaan) yang tidak bersamaan dengan ridha Allah swt. dan tidak bersamaan dengan senang kepada Allah dan senangnya Allah, maka orang tersebut terbujuk syetan dan menjadi orang yang rusak.

Karomah itu tidak diberikan kepada orang yang mencarinya dan menuruti keinginan nafsunya dan tidak pula diberikan kepada orang yang badannya digunakan untuk mencari karomah.

Yang diberi karomah hanya orang yang tidak merasa diri dan amalnya, akan tetapi dia selalu tersibukkan dengan pekerjaan-pekerjaan yang disenangi Allah dan merasa mendapat anugerah (fadhal) dari Allah semata, tidak menaruh harapan dari kebiasaan diri dan amalnya.

Di antara keramatnya para Shidiqin ialah :

1. Selalu taat dan ingat pada Allah swt. secara istiqamah (kontineu).

2. Zuhud (meninggalkan hal-hal yang bersifat duniawi).

3. Bisa menjalankan perkara yang luar bisa, seperti melipat bumi, berjalan di atas air dan sebagainya.

Diantara keramatnya Wali Qutub :

1. Mampu memberi bantuan berupa rahmat dan pemeliharaan yang khusus dari Allah swt.

2. Mampu menggantikan Wali Qutub yang lain.

3. Mampu membantu malaikat memikul Arsy.

4. Hatinya terbuka dari haqiqat dzatnya Allah swt. dengan disertai sifat-sifat-Nya.

Kamu jangan menunda ta’at di satu waktu, pada waktu yang lain, agar kamu tidak tersiksa dengan habisnya waktu untuk berta’at (tidak bisa menjalankan) sebagai balasan yang kamu sia-siakan. Karena setiap waktu itu ada jatah ta’at pengabdian tersendiri. Kamu jangan menyebarkan ilmu yang bertujuan agar manusia membetulkanmu dan menganggap baik kepadamu, akan tetapi sebarkanlah ilmu dengan tujuan agar Allah swt. membenarkanmu.

Wasiat Dan Nasihat Beliau


• Jika Kasyaf bertentangan dengan Al Qur’an dan Sunah, tinggalkanlah Kasyaf dan berpeganglah pada Al Qur’an dan Sunah. Katakana pada dirimu : Sesungguhnya Allah swt menjamin keselamatan saya dalam kitabnya dan sunah Rasulnya dari kesalahan, bukan dari Kasyaf, Ilham, maupun Musyahadah sebelum mencari kebenarannya dalam Al Qur’an dan Sunah terlebih dahulu.

• Kembalilah dari menentang Allah swt, maka engkau menjadi Ahli Tauhid. Berbuatlah sesuai dengan rukun-rukun Syara’, maka engkau menjadi Ahli Sunah. Gabungkanlah keduanya, maka engkau menuju kesejatian.

• Jika engkau menginginkan bagian dari anugerah para wali, berpalinglah dari manusia kecuali dia menunjukkanmu kepada Allah swt dengan cara yang benar dan tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Sunah.

• Seandainya kalian mengajukan permohonan kepada Allah swt, sampaikan lewat Imam Abu Hamid Muhammad Al Ghazali. Kitab Ihya Ulumuddin Al Ghazali mewariskan Ilmu; sedangkan Qutub Qulub Al Makki mewariskan cahaya kepada kalian.

• Ketuklah pintu zikir dengan hasrat dan sikap sangat membutuhkan kepada Allah swt melalui kontemplasi, menjauhkan diri segala hal selain Allah swt. Lakukanlah dengan menjaga rahasia batin, agar jauh dari bisikan nafsu dalam seluruh nafas dan jiwa, sehingga kalian memilki kekayaan rohani. Tuntaskan lisanmu dengan berzikir, hatimu untuk tafakur dan tubuhmu untuk menuruti perintah-Nya. Dengan demikian kalian bisa tergolong orang-orang saleh.

• Manakala zikir terasa berat di lisanmu, sementara pintu kontemplasi tertutup, ketahuilah bahwa hal itu semata-mata karena dosa-dosamu atau kemunafikan dalam hatimu. Tak ada jalan bagimu kecuali bertobat, memperbaiki diri, hanya menggantungkan diri kepada Allah swt dan ikhlas beramal.

Karomah Abul Hasan


Sulthonul Auliya' Syaikh Abul Hasan 'Ali Asy Syadzili ra adalah seorang yang dianugerahi karomah yang sangat banyak, tidak ada yang bisa menghitung karomahnya kecuali Allah SWT. Dan sebagian dari karomah beliau antara lain adalah :

Allah SWt menganugerahkan kepada beliau kunci seluruh Asma-Asma, sehingga seandainya seluruh manusia dan jin menjadi penulis beliau (untuk menulis ilmu-ilmu beliau) mereka akan lelah dan letih, sedangkan ilmu beliau belum habis.

Beliau adalah sangat terpuji akhlaqnya, sifat mudah menolong dan kedermawanannya dari sejak usia anak-anak sampai ketika umur enam tahun telah mengenyangkan orang-orang yang kelaparan pada penduduk Negara Tunisia dengan uang yang berasal dari alam ghoib (uang pemberian Allah secara langsung kepada beliau. Beliau didatangi Nabiyulloh Khidir as untuk menetapkan “wilayatul adzimah” kepada beliau (menjadi seorang wali yang mempunyai kedudukan tinggi) ketika beliau baru berusia enam tahun.

°Beliau bisa mengetahui batin isi hati manusia.
°Beliau pernah berbicara dengan malaikat dihadapan murid-muridnya.
°Beliau menjaga murid-muridnya meskipun di tempat yang jauh.
°Beliau mampu memperlihatkan/menampakkan ka’bah dari negara Mesir.
°Beliau tidak pernah putus melihat/menjumpai Lailatul Qodar semenjak usia baligh hingga wafatnya beliau.
Sehingga beliau berkata : Apabila Awal Puasa ramadhan jatuh pada hari Ahad maka Lailatul Qodarnya jatuh pada malam 29, Awal Puasa pada hari Senin Lailatul Qodarnya malam 21, Awal puasa pada hari Selasa Lailatul Qodarnya malam 27, Awal puasa pada hari Rabu Lailatul Qodarnya malam 19, awal puasa pada hari Kamis Lailatul Qodarnya malam 25, awal puasa pada hari jum’at maka Lailatul Qodarnya pada malam 17, sedangkan bila awal puasa pada hari Sabtu maka Lailatul Qodarnya jatuh pada malam 23. Barang siapa yang meninggal dan dikubur sama dengan hari meninggal dan dikuburkannya beliau, maka Allah akan mengampuni seluruh dosanya

Doa Beliau Mustajabah (dikabulkan oleh Allah SWT) Beliau tidak pernah terhalang sekejap mata pandangannya dari Rasulullah saw selama 40 tahun (artinya beliau selalu berjumpa dengan Rasulullah selama 40 tahun)

Beliau dibukakan (oleh Allah) bisa melihat lembaran buku murid-murid yang masuk kedalam thoriqohnya, padahal lebar bukunya tersebut berukuran sejauh mata memandang. Hal ini berlaku bagi orang yang langsung baiat kepada beliau dan juga bagi orang sesudah masa beliau sampai dengan akhir zaman. Dan seluruh murid-muridnya (pengikut thoriqohnya) diberi karunia bebas dari neraka. Syaikh Abul Hasan Asy Syadzili ra sungguh telah digembirakan diberi karunia, barang siapa yang melihat beliau dengan rasa cinta dan rasa hormat tidak akan mendapatkan celaka.

Beliau menjadi sebab keselamatan murid-muridnya/pengikutnya (akan memberikan syafaat di akhirat) Beliau berdo’a kepada Allah SWT, agar menjadikan tiap-tiap wali Qutub sesudah beliau sampai akhir zaman diambil dari golongan thoriqohnya. Dan Allah telah mengabulkan Do’a beliau tersebut. Maka dari itu wali Qutub sesudah masa beliau sampai akhir zaman diambil dari golongan pengikut beliau.

Syaikh Abul Abbas Al Mursi ra berkata : “Apabila Allah SWT menurunkan bala/bencana yang bersifat umum maka pengikut thoriqoh syadziliyah akan selamat dari bencana tersebut sebab karomah syaikh Abul Hasan Asy Syadzili ra".

Syaikh Syamsudin. Muhammad Al-Hanafi ra mengatakan bahwa pengikut thoriqoh syadziliyah di karuniai kemulyaan tiga macam yang tidak diberikan pada golongan thoriqoh yang lainnya :

a. Pengikut thoriqoh Syadziliyah telah dipilih di lauhil mahfudz.

b. Pengikut thgoriqoh syadziliyah apabila jadzab/majdub akan cepat kembali seperti sedia kala.

c. Seluruh Wali Qutub yang diangkat sesudah masa syaikh Abul Hasan Asy Syadzili ra akan diambil dari golongan ahli thoriqoh Sadziliyah.

Apabila beliau mengasuh/mengajar murid-muridnya sebentar saja, sudah akan terbuka hijab. Rasulullah saw memberikan izin bagi orang yang berdo’a Kepada Allah SWT dengan bertawasul kepada Syaikh Abul Hasan Asy Syadzili Alhasany

Isyarat Kepergian Beliau


Kesadaran beliau akan usia yang kian menua, memanggil hati untuk berkunjung ke Mekah guna melaksanakan ibadah haji. Beliau juga bermaksud mengajak keluarga, kerabat, dan murid-muridnya untuk menyertai.

Sebelum keberangkatan, beliau sudah merasa bahwa dirinya akan segera dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Perasaan itu beliau ungkapkan dengan isyarat. Ketika rombongan hendak berangkat, Syaikh memerintah mereka untuk membawa peralatan menggali. Para rombongan merasa janggal, namun mereka tetap memenuhi perintah beliau. Saat itu ada salah satu rombongan yang memberanikan diri bertanya. Beliau menjawab, “Ya, siapa tahu diantara kita ada yang meniggal di tengah perjalan “.

Wasiat Sang Imam


Di tengah perjalan, beliau dan rombongannya berhenti untuk istirahat. Tepatnya di kota Idzaab, suatu gurun di tepi pantai laut merah kota Khumaistaroh. Pemberhentian tersebut atas aba-aba Syaikh Abul Hasan asy-Syadzili Alhasany.

Dalam istirahatnya, beliau memberi wasiat kepada keluarga, kerabat, dan murid-muridnya. Salah satu wasiatnya, beliau berkata “Wahai. Anak-anakku perintahlah putra-putramu untuk menghafal Hizib Bahar. Karena, ketahuilah bahwa di dalamnya mengandung Ismul-Lâh al-a’zham“.

Beliau juga berwasiat kepada murid-muridnya jika Syaikh Abul Hasan meninggal, maka yang menggantikannya sebagai mursyid Thoriqoh Syadziliyah adalah Abul Abbas Ahmad Bin Umar al-Mursy. Tercatat dalam sejarah bahwa Syekh Abul Abbas Achmad bin Umar al-Mursy adalah salah satu dari murid Saikh Abul Hasan asy-Syadzili yang menduduki maqom tertinggi di tarekat Syadziliyah

Abul Hasan Wafat


Setelah beliau memberi tausyiyah (sebagai tanda wasiat beliau), dan pesan-pesan terakhir pada mereka, beliau kemudian melanjutkannya dengan mengerjakan sholat Isya’. Beliau sholat dengan penuh khusyuk dan tenang.

Setelah mengerjakan shalat Isya’ dan shalat sunnah, beliau berbaring dengan menghadapkan wajah kepada Allah (tawajjuh). Syaikh Abul Hasan tidak henti-hentinya berdzikir. Terkadang sangat nyaring, hingga terdengar oleh para murid dan sahabatnya.

Dalam detik-detik tersebut, Syaikh Abul Hasan juga tidak henti-hentinya memanggil nama Tuhannya. “Ilâhi… Ilahi…” (wahai Tuhanku. wahai Tuhanku). Dan kadang beliau melanjutkannya dengan mengucapkkan, “Allâhummah matâ yakûnu al-liqo’ ?” (Ya.. Allah. Kapan kiranya hamba bisa bertemu).

Ketika malam telah sampai di penghujung, yaitu mejelang terbitnya fajar sodik, suasana terasa sunyi. Dzikir yang beliau ucapkan sudah tidak lagi terdengar. Syekh Abul Hasan yang berada di dalam tenda tidak tidak lagi mengeluarkan suara. Hal itu membuat putranya asy-Syaikh Abu Abdullah Muhammad Syarouddin As syadzili merasa tidak nyaman. Lalu beliau bergegas pergi ke hujran (kamar) sang ayah untuk melihat keadaannya.

Setelah mendapatinya, beliau menggerak-gerakkan tubuh Syaikh Abul Hasan dengan halus. Innâ lil-Lâhi wa innâ ilaihi râjiun. Syaikh Syarafuddin terkejut dan tersentak. Beliau mendapat ayahandanya telah pulang kehadirat Allah Beliau, Syaikh Al-Imam al-Quthb al-Ghauts Abul Hasan asy-Syadzili Alhasany diangkat oleh Allah ketika beliau berusia 63 tahun, sama dengan datuknya, Rasulullah SAW

Makam Penuh Berkah


Kepergian Syaikh Abul Hasan asy-Syadzili Alhasany membuat umat Islam sedunia kehilangan, utamnya keluarga, sahabat, dan para muridnya. Air mata mengalir tanpa terasa terus membasahi pipi rombongan. Mereka menggenggam kesabaran sesuai dengan anjuran sang guru untuk selalu sabar dalam menghadapi musibah. Rombongan tersebut kemudian memandikan dan mengkafani jasad beliau.

Ribuan manusia terus berduyun-duyun tiada henti datang untuk bertakziyah. Meski matahari telah meninggi, justru semakin banyak masyarakat, ulama, siddiqin, dan para auliya’ yang mensholati jenazah Syaikh Abul Hasan. Termasuk diantara adalah qâdhil-qudhât, Syaikh al-Wali Bahruddin bin Jama’ah. Hadir pula di antara mereka pangeran dan pejabat kerajaan Mesir. Kehadiran meraka semua, tiada lain adalah untuk menghormati kepergian sang imam menuju rahmatulloh.

Bahkan, setelah jasad beliau dikebumikan, makam beliau tidak pernah sepi dari para penziarah. Sampai saat ini pun, keramaian tersebut masih terus menyelimuti. Kaum muslimin dari berbagai penjuru negeri terus berdatangan untuk mengharap berkah.

Thoriqoh Syadziliyah adalah warisan utama Kanjeng Syaikh Abul Hasan As Syadzili yang masih ada sampe sekarang dari generasi-generasi dan berbagai cabang Syadziliyah pun berdiri di Afrika dan telah masuk di berbagai penjuru di bumi ini.
Di Indonesia pun banyak kemursyidan Syadziliyah yang tersebar di berbagai daerah.
Diantaranya yang di pimpin oleh Ro'is 'Am Thoriqotul Muktabaroh anNahdziyah Al Habib Muhammad Luthfi bin Yahya Pekalongan.
Serta di Ponpes Al Kahfi dan Al Falah Somalangu Kebumen dan berbagai tempat lain di Indonesia.



BERANDA

ZAID BIN TSABIT

SANG PENERJEMAH ROSULULLOH



Al Anshar


Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu adalah seorang sahabat Anshar. Ia dipilih sebagai ketua tim pembukuan Alquran di zaman Abu Bakar dan di zaman Utsman bin Affan. Amanah yang besar itu tentu menunjukkan sebesar apa kapasitas dan kedudukan beliau dalam Islam dan sejarah umat Islam.

Asal Usulnya


Beliau adalah Zaid bin Tsabit bin adh-Dhahak al-Anshari. Ia berasal dari Bani Najjar yang merupakan keluarga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah. Saat Rasulullah tiba di Madinah, kondisi Zaid kala itu adalah seorang anak yatim. Ayahnya wafat pada Perang Bu’ats. Di tahun pertama hijrah itu, usia Zaid tidak lebih dari 11 tahun. Ia memeluk Islam bersama keluarganya. Rasulullah pun mendoakan keberkahan untuknya.

Kesunngguhan Zaid


Sewaktu kecil, ia bersama orang-orang dewasa berangkat menemui Rasulullah untuk turut serta dalam Perang Badar. Tapi, Rasulullah tidak mengizinkannya karena ia terlalu muda dan badannya pun masih kecil. Tidak menyerah karena ditolak saat Perang Badar, saat Rasulullah menyiapkan pasukan Perang Uhud, Zaid kembali mendaftarkan diri. Kali ini ia berangkat bersama rombongan remaja seusianya. Berharap Rasulullah mengikut-sertakan mereka dalam pasukan mujahidin. Dan keluarga mereka lebih-lebih lagi harapannya agar Rasulullah menerima mereka.

Rasulullah memandangi mereka dengan pandangan terima kasih. Seakan-akan beliau menginginkan mereka untuk izin tidak ikut saja. Majulah anak muda yang bernama Rafi’ bin Khadij membawa sebuah belati atau tombak. Ia memamerkan keahliannya memegang senjata tersebut. Rafi’ berkata, “Sesungguhnya aku sebagaimana yang Anda lihat. Aku mahir dalam melempar senjata, karena itu izinkanlah aku.” Rasulullah pun mengizinkannya.

Kemudian Samurah bin Jundab pun maju. Salah seorang anggota keluarganya mengatakan, “Sesungguhnya Samurah lebih hebat dari Rafi.” Rasulullah pun mengizinkan beliau.

Pemuda Pemberani


Tersisalah 6 orang pemuda pemberani lainnya. Di antara mereka ada Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Umar. Mereka mengeluarkan segala kemampuan membujuk rayu Rasulullah. Tak mempan dengan lisan, mereka bujuk dengan air mata. Belum juga berhasil dengan cara mengiba itu, mereka unjuk kekuatan dengan menunjukkan otot-otot mereka. Tapi usia mereka masih terlalu muda. Dan tubuh mereka masih begitu kecil. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menolak mereka secara halus sekaligus menghibur mereka dengan berjanji akan mengajak mereka pada perang selanjutnya.

Akhirnya, Zaid dan Tsabit bersama anak-anak seusiasanya memulai pengalaman jihad mereka di Perang Khandaq. Pada tahun 5 H.

Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu berkata, “Pada Perang Bu’ats aku berusia 6 tahun. Hal itu terjadi 5 tahun sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah. Dan saat itu aku berusia 11 tahun. Aku dipertemukan dengan Rasulullah. Mereka berkata, ‘Ada seorang anak dari Kabilah Khazraj yang telah menghafal 16 surat’. Namun beliau tidak mengizinkan aku di Perang Badar dan Uhud. Barulah aku diizinkan di Perang Khandaq.”

Zaid memegang bendera Bani Najjar di Perang Tabuk. Awalnya bendera tersebut di pegang Umarah bin Hazm, tapi Rasulullah mengambilnya dan menyerahkannya kepada Zaid. Umarah berkata, “Wahai Rasulullah, apakah ada sesuatu tentangku (yang buruk) yang sampai kepadamu?” “Tidak ada. Tapi, yang lebih banyak menghafal Alquran layak dikedepankan. Dan Zaid lebih banyak menghafal Alquran daripada engkau.”

Perlu diketahui, dahulu para sahabat menghafal 10 ayat-10 ayat. Ketika mereka sudah paham dan mengamalkannya barulah mereka menambah hafalan. Sehingga siapa yang paling banyak hafalannya, maka semakin baik kualitasnya di antara mereka.

Pemuda Anshar Yang Cerdas


Dari Amir, ia menceritakan:

Sesungguhnya tebusan tawanan Perang Badar adalah 40 ukiyah emas. Siapa yang memiliki kepandaian baca-tulis, mereka diperintahkan mengajar baca-tulis kepada 10 orang kaum muslimin. Di antara yang mendapat pengajaran adalah Zaid bin Tsabit. Zaid adalah seorang cendekia dan memiliki keistimewaan dalam berbagai bidang. Ia seorang penghafal Alquran. Juru tulis Nabi yang menulis wahyu yang turun kepada Rasulullah. Ia memiliki kualitas ilmu dan hikmah yang mendalam.

Ketika Rasulullah mulai menyampaikan risalah Islam keluar Madinah, melakukan surat-menyurat kepada para raja dan kaisar, beliau memerintahkan Zaid untuk mempelajari bahasa-bahasa mereka. Zaid pun berhasil menguasai bahasa-bahasa tersebut dalam waktu yang singkat.

Zaid bin Tsabit mengatakan, “Aku dipertemukan dengan Nabi saat beliau tiba di Madinah. Ada yang mengatakan, ‘Ini adalah seorang anak dari Bani Najjar. Ia telah menghafal 17 surat (diriwayat sebelumnya 16)’. Aku pun membacakannya di hadapan beliau. Beliau sangat terkesan. Lalu beliau berkata, ‘Pelajarilah bahasa Yahudi (bahasa Ibrani). Sesungguhnya aku tidak bisa membuat mereka beriman dengan kitabku’. Aku pun melakukan apa yang beliau minta. Berlalulah waktu tidak lebih dari setengah bulan, aku pun menguasainya. Kemudian aku menulis surat Nabi kepada mereka. Apabila mereka yang mengirimkan surat kepada beliau, akulah yang menerjemah.”

Dari Tsabit bin Ubaid dari Zaid bin Tsabit, ia berkata, Rasulullah berkata kepadaku, “Apakah engkau bisa Bahasa Suryaniyah?” “Tidak,” jawabku. “Pelajarilah. Sungguh nanti akan datang surat-surat kepada kita”, pinta Rasulullah. Aku pun mempelajarinya dalam rentang waktu 17 hari.

Kita teringat dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِنَّ اللهَ يُحِبُّ مَعَالِيَ الْأُمُوْرِ وَأَشْرَافِهَا وَيَكْرَهُ سَفْسَافَهَا

“Sesungguhnya Allah mencintai perkara yang terbaik dan membenci sesuatu yang asal-asalan.” (HR. ath-Thabrani).

Bagaimana pengaruh pendidikan Rasulullah terhadap para sahabat. Selain faktor kecerdasarn, tentu tekad dan kesungguhan juga berpengaruh besar. Sehingga Zaid begitu cepatnya menguasai bahasa-bahasa asing tersebut.

Al-A’masy mengatakan, “Pernah datang surat-surat kepada Zaid. Tapi ia tidak tertarik membacanya, kecuali yang ia percaya saja. Dari sinilah ia dikenal dengan panggilan Penerjemahnya Rasul.”

Penghafal Al-Qur'an


Sejak dimulainya dakwah Islam selama lebih kurang 20 tahun sejak wahyu pertama turun, terdapat sekelompok sahabat yang mampu menghafal dengan kemampuan biasa. Ada yang mampu menghafal semua yang tertulis. Ada pula yang menghafal semua ayat yang tersusun. Di antara mereka adalah Ali bin Abu Thalib, Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, dan Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhum ajma’in. Setelah Alquran diturunkan secara sempurna, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakannya kepada para sahabat dengan berurutan sebagaimana susunan surat dan ayat yang kita ketahui sekarang.

Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu pernah menyetorkan hafalannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun wafat beliau. Di tahun itu, Zaid menyetorkan hafalannya sebanyak dua kali. Dan qiro-at tersebut dinamakan qiro-at Zaid bin Tsabit. Karena dia pula yang menulis dan mengajukannya kepada Nabi agar dikoreksi. Dan teks tersebut beliau bacakan kepada orang-orang hingga beliau wafat.

Awal Pembukuan Al-Qur'an


Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, kaum muslimin dibuat sibuk dengan konflik melawan orang-orang murtad. Sehingga banyak korban jatuh dari kaum muslimin. Dalam Perang Yamamah (perang menghadapi nabi palsu, Musailimah al-Kadzab) misalnya, sejumlah besar penghafal Alquran gugur. Umar bin al-Khattab khawatir para penghafal Alquran terus berguguran karena konflik belum juga usai. Ia mendiskusikan ide membukukan Alquran dengan Khalifah Abu Bakar. Kemudian Abu Bakar beristikharah. Bermusyawarah dengan para sahabat. Setelah itu, ia memanggil Zaid bin Tsabit, “Sesungguhnya engkau adalah seorang pemuda yang cerdas. Aku akan memberimu tugas penting…” Abu Bakar memerintahkanya membukukan Alquran.

Zaid pun memegang tanggung jawab besar. Ia diuji dengan amanah yang berat dalam proyek besar ini. Ia mengecek dan menelaah hingga terkumpullah Alquran tersusun dan terbagi-bagi berdasarkan surat masing-masing. Tentang tanggung jawab besar ini, Zaid berkata, “Demi Allah! Kalau sekiranya kalian bebankan aku untuk memindahkan bukit dari tempatnya, tentu hal itu lebih ringan daripada kalian perintahkan aku untuk membukukan Alquran.”

Ia juga mengatakan, “Aku meneliti Alquran, mengumpulkannya dari daun-daun lontar dan hafalan-hafalan orang.” Namun dengan taufik dari Allah ia berhasil menjalankan amanah besar tersebut dengan baik.

Menyamakan Bacaan Al-Qur'an


Pada masa pemerintah Khalifah Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu jumlah orang yang memeluk Islam semakin hari semakin bertambah. Hal itu terjadi di berbagai daerah. Tentu saja hal ini sangat positif. Namun, hal ini bukanlah tanpa celah. Daerah-daerah tersebut menerima riwayat qira-at yang berbeda-beda. Dan mereka belum mengenal variasinya. Sehingga mereka menyangka orang yang berbeda bacaan Alqurannya membuat-buat bacaan baru. Muncullah masalah baru.

Melalui usul sahabat Hudzaifah bin al-Yaman, Khalifah Utsman bin Affan pun membuat kebijakan menyeragamkan bacaan Alquran. Utsman mengatakan, “Siapakah orang yang paling dipercaya untuk menulis?” Orang-orang menjawab, “Penulisnya Rasulullah, Zaid bin Tsabit.” Utsman kembali mengatakan, “Siapakah yang paling fasih bahasa Arabnya?” Orang-orang menjawab, “Said bin al-Ash. Ia seorang yang dialeknya paling mirip dengan Rasulullah.” Utsman kembali mengatakan, “Said yang mendikte dan Zaid yang menulis.”

Zaid bin Tsabit meminta bantuan sahabat-sahabat yang lain. Para sahabat pun membawakan salinan Alquran yang ada di rumah Ummul Mukminin Hafshah binti Umar radhiallahu ‘anha. Para sahabat saling membantu dalam peristiwa besar dan bersejarah ini. Mereka jadikan hafalan Zaid sebagai tolok ukur. Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma mengatakan, “Pastilah para penghafal Alquran dari sahabat Muhammad tahu bahwa Zaid bin Tsabit adalah orang yang sangat mendalam ilmunya.”

Keutamaan Zaid


Figur seorang Zaid bin Tsabit memiliki kedudukan yang tinggi di tengah masyarakat. Kaum muslimin sangat menghormatinya. Suatu hari Zaid mengendarai hewan tunggangannya. Kemudian Abdullah bin Abbas mengambil tali kekangnya dan menuntunnya. Melihat hal itu, Zaid berkata, “Biarkan saja wahai anak paman Rasulullah.” “Tidak. Seperti inilah selayaknya kita menghormati ulama kita,” jawab Ibnu Abbas.

Membai'at Abu Bakar


Abu Said al-Khudri radhiallahu ‘anhu mengisahkan:

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, orang-orang Anshar angkat bicara. Salah seorang di antara mereka mengatakan, ‘Wahai orang-orang Muhajirin, sesungguhnya jika Rasulullah menugaskan salah seorang di antara kalian, beliau akan menjadikan salah seorang di antara kami sebagai pendampingnya. Karena itu, kami memandang setelah beliau kepemimpinan ini dipegang oleh dua orang. Satu dari kalian dan satu dari kami’.

Orang-orang Anshar pun menyuarakan demikian. Lalu berdirilah Zaid bin Tsabit. Ia berkata, ‘Sesungguhnya Rasulullah berasal dari Muhajirin. Dan kepemimpinan itu pada Muhajirin dan kita adalah penolong mereka. Sebagaimana kita telah menjadi Anshar nya Rasulullah’.

Abu Bakar pun berdiri dan berterima kasih atas ucapan Zaid yang menenangkan suasana. Abu Bakar berkata, ‘Wahai orang-orang Anshar, benarlah apa yang teman kalian ucapkan. Seandainya kalian melakuakn selain itu, tentu kami tidak membenarkannya’.

Zaid menggapai tangan Abu Bakar, kemudian berkata, ‘Ini adalah sahabat kalian. Baiatlah dia’.

Apabila Abu Bakar berhaji, maka Umar dan Zaid bin Tsabit yang menggantikan beliau sebagai khalifah. Zaid juga diberi amanah membagi ghanimah di Perang Yarmuk. Ia juga merupakan salah seorang dari enam orang ahli fatwa: Umar, Ali, Ibnu Mas’ud, Ubay, Abu Musa, dan Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhum ajma’in. Umar dan Utsman tidak melebihkan seorang pun dalam permasalah kehakiman, fatwa, faraidh, dan qiroa-ah dibanding Zaid bin Tsabit.

Anas bin Malik meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَرْحَمُ أُمَّتِي بِأُمَّتِي أَبُو بَكْرٍ وَأَشَدُّهُمْ فِي أَمْرِ اللَّهِ عُمَرُ وَأَصْدَقُهُمْ حَيَاءً عُثْمَانُ وَأَعْلَمُهُمْ بِالْحَلَالِ وَالْحَرَامِ مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ وَأَفْرَضُهُمْ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ وَأَقْرَؤُهُمْ أُبَيٌّ وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَمِينٌ وَأَمِينُ هَذِهِ الْأُمَّةِ أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ

“Umatku yang paling penyayang terhadap yang lain adalah Abu Bakar. Yang paling kokoh dalam menjalankan perintah Allah adalah Umar. Yang paling jujur dan pemalu adalah Utsman. Yang paling mengetahui halal dan haram adalah Mu’adz bin Jabal. Yang paling mengetahui ilmu fara’idh (pembagian harta warisan) adalah Zaid bin Tsaabit. Yang paling bagus bacaan Alqurannya adalah Ubay. Setiap umat mempunyai orang kepercayaan. Dan orang kepercayaan umat ini adalah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah.” (HR. at-Turmudzi 3791).

Seorang tokoh tabi’in, Muhammad bin Sirin, mengatakan, “Zaid bin Tsabit mengalahkan orang-orang dalam dua hal: Alquran dan faraidh.”

Wafatnya


Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu wafat pada tahun 45 H di masa pemerintahan Muawiyah bin Abu Sufyan radhiallahu ‘anhu.

Di hari wafatnya Zaid, Abu Hurairah berkata, “Pada hari ini telah wafat tintanya umat ini. Semoga Allah menjadikan Ibnu Abbas sebagai penggantinya.”

Tinta adalah ungkapan untuk keluasan ilmu. Karena di zaman dahulu, menulis ilmu itu membutuhkan tinta.



BERANDA

PERISTIWA ISRA' MI'RAJ 2

NABI DI LANGIT KEDUA



Berjumpa Nabi Yahya Dan Nabi Isa


Setelah peristiwa-peristiwa luar biasa di langit pertama, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan perjalanan menuju langit kedua. Di sini beliau berjumpa dengan Rasulullah Yahya dan Isa.

. قِيلَ: وَمَنْ مَعَكَ؟ قَالَ: مُحَمَّدٌ. قِيلَ: وَقَدْ أُرْسِلَ إِلَيْهِ؟ قَالَ: نَعَمْ. قِيلَ: مَرْحَبًا بِهِ فَنِعْمَ المَجِيءُ جَاءَ فَفَتَحَ..”.

Penjaga pintu langit kedua bertanya, “Siapa yang bersamamu?” Jibril menjawab, “Muhammad.”

“Apakah ia diutus kepada-Nya?” tanyanya lagi. “Iya”, jawab Jibril. Penjaga pintu langit kedua mengatakan, “Selamat datang. Sebaik-baik orang yang datang telah tiba.” Ia pun membukakan pintu.

Setiap langit terpisah dari langit lainnya. Setiap langit memiliki pintu-pintu dan penjaga masing-masing. Dan juga setiap langit memiliki penghuninya masing-masing. Hal ini bisa kita pahami dari firman Allah Ta’ala:

فَقَضَاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ فِي يَوْمَيْنِ وَأَوْحَى فِي كُلِّ سَمَاءٍ أَمْرَهَا

“Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa. Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya.” [Quran Fushshilat: 12].

Setiap langit memiliki urusannya sendiri-sendiri. Demikianlah Allah Ta’ala dengan hikmah-Nya membuat pengaturan. Sehingga langit itu terjaga dengan penjagaan yang sempurna. Dan memiliki tatanan yang luar biasa.

Memasuki Langit Kedua


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَلَمَّا خَلَصْتُ إِذَا يَحْيَى وَعِيسَى، وَهُمَا ابْنَا الخَالَةِ، قَالَ: هَذَا يَحْيَى وَعِيسَى فَسَلِّمْ عَلَيْهِمَا، فَسَلَّمْتُ فَرَدَّا، ثُمَّ قَالاَ: مَرْحَبًا بِالأَخِ الصَّالِحِ، وَالنَّبِيِّ الصَّالِحِ

“Ketika aku telah memasuki pintunya, ternyata ada Yahya dan Isa. Keduanya adalah saudara sepupu. Jibril berkata, ‘Ini Yahya dan Isa. Ucapkanlah salam kepada keduanya’. Aku pun mengucapkan salam dan keduanya membalas salamku. Kemudian keduanya berkata, ‘Selamat datang saudara yang shaleh dan nabi yang shaleh’.”

Kedua nabi yang bersaudara ini berada di langit yang sama. Sewaktu di dunia, keduanya pun sempat hidup bersama. Allah kumpulkan keduanya di dunia, di lanigt, dan di akhirat kelak. Tentu kita jadi teringat sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الْمَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ

“Seseorang akan bersama dengan orang yang ia cintai.”

Karena itu, cintailah orang-orang shaleh.

Dalam riwayat lain, dijelaskan bahwa pertemuan ini hanya terjadi antara Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Nabi Isa ‘alaihissalam saja. Dalam sebuah hadits dari Abu Dzar radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“ثُمَّ مَرَرْتُ بِعِيسَى فَقَالَ: مَرْحَبًا بِالأَخِ الصَّالِحِ وَالنَّبِيِّ الصَّالِحِ. قُلْتُ: مَنْ هَذَا؟ قَالَ: هَذَا عِيسَى

“Kemudian aku bertemu dengan Isa. Ia berkata, ‘Selamat datang saudara yang shaleh dan nabi yang shaleh’.” Aku bertanya (pada Jibril), ‘Siapa ini?’ ‘Ini adalah Isa’, jawab Jibril.” (HR. al-Bukhari dalam Kitab ash-Shalah (342) dan Muslim dalam Kitab al-Iman (163).

Ciri Fisik Nabi Isa


Dalam beberapa hadits, terdapat keterangan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang ciri fisik Nabi Isa ‘alaihissalam. Sebagaimana sabda beliau yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:

لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِيْ لَقِيْتُ مُوْسَى… (فَنَعَتَهُ إِلَى أَنْ قَالَ:) وَلَقِيْتُ عِيْسَى… (فَنَعَتَهُ فَقَالَ:) رَبْعَةٌ، أَحْمَرُ، كَأَنَّمَا خَرَجَ مِنْ دِيْمَاسٍ (يَعْنِي: الْحَمَّامَ.

“Aku berjumpa dengan Musa ketika aku di-isra’-kan… (lalu beliau menyebutkan sifatnya hingga beliau berkata): dan aku berjumpa dengan Isa… (lalu beliau mensifatinya dengan berkata,) bertubuh sedang (tidak tinggi dan tidak pendek), merah, seakan-akan dia keluar dari pemandian’.” (HR. al-Bukhari dalam Kitab al-Anbiya (3254) dan Muslim dalam Kitab al-Iman (168).

Beliau menyifatinya Nabi Isa seolah-olah keluar dari pemandian, karena rambut beliau basah. Masih meneteskan air. Dalam hadits yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا طَأْطَأَ رَأْسَهُ قَطَرَ، وَإِذَا رَفَعَهُ تَحَدَّرَ مِنْهُ جُمَانٌ كَاللُّؤْلُؤِ

“Bila ia menundukkan kepala, meneteslah air. Bila ia angkat kepalanya, air bercucuran seperti mutiara.” (HR. Muslim no. 2937)

Masih dalam hadits tentang mi’raj, beliau bersabda,

وَرَأَيْتُ عِيسَى رَجُلاً مَرْبُوعًا، مَرْبُوعَ الخَلْقِ إِلَى الحُمْرَةِ وَالبَيَاضِ، سَبِطَ الرَّأْسِ

“Aku melihat Isa. Orangnya sedang tidak tinggi dan tidak pendek. Sedang bentuk badannya. Berkulit putih kemerah-merahan dan lurus rambutnya.” (HR. al-Bukhari dalam Kitab Bad-ul Khalqi (3067).

Saat perjalanan isra’, beliau juga menyifati Nabi Isa yang sedang shalat di Masjid al-Aqsha:

وَإِذَا عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ قَائِمٌ يُصَلِّي، أَقْرَبُ النَّاسِ بِهِ شَبَهًا عُرْوَةُ بْنُ مَسْعُودٍ الثَّقَفِيُّ

“Di sana terdapat Isa bin Maryam alaihissalam. Ia sedang berdiri shalat. Orang yang paling mirip dengannya adalah Urwah bin Mas’ud ats-Tsaqafi.” (HR. Muslim dalam Kitab al-Iman (172).



BERANDA

PERISTIWA ISRA' MI'RAJ 1

NABI DI LANGIT PERTAMA



Langit Dunia


Untuk pertama kalinya dalam sejarah peradaban manusia, ada seseorang yang berdiri di pintu-pintu langit. Kemudian memasukinya. Dan bertemu dengan mereka yang ada di dalamnya. Orang tersebut adalah Muhammad bin Abdullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Langit pertama yang juga dikenal dengan langit dunia adalah persinggahan berikutnya Nabi Muhammad. Sebelumnya, beliau mengendari Burak dari Mekah menuju Jerusalem. Setelah itu beranjak menaiki tangga menuju langit pertama.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَانْطَلَقَ بِي جِبْرِيلُ حَتَّى أَتَى السَّمَاءَ الدُّنْيَا فَاسْتَفْتَحَ، فَقِيلَ: مَنْ هَذَا؟ قَالَ: جِبْرِيلُ. قِيلَ: وَمَنْ مَعَكَ؟ قَالَ: مُحَمَّدٌ. قِيلَ: وَقَدْ أُرْسِلَ إِلَيْهِ؟ قَالَ: نَعَمْ. قِيلَ: مَرْحَبًا بِهِ فَنِعْمَ المَجِيءُ جَاءَ فَفَتَحَ

Kemudian Jibril beranjak bersamaku hingga kami tiba di langit dunia. Ia meminta dibukakan. Penjaga langit pertama bertanya, “Siapa?” “Jibril”, jawabnya. Ia kembali bertanya, “Siapa yang bersamamu?” Jibril menjawab, “Muhammad.”

“Apakah ia diutus kepada-Nya”, tanyanya lagi. “Iya”, jawab Jibril. Malaikat itu berkata, “Selamat datang. Sebaik-baik orang yang datang telah tiba.” Ia pun membuka (pintu langit).

Untuk pertama kalinya dalam sejarah peradaban manusia seorang manusia, dalam keadaan hidup, berdiri di pintu-pintu langit. Menunggu pintu-pintu itu dibukakan untuknya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam paham betul bahwa langit-langit itu memiliki pintu. Sebagaimana firman Allah Ta’ala tatkala menyifati orang-orang kafir.

لاَ تُفَتَّحُ لَهُمْ أَبْوَابُ السَّمَاءِ

“Sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit…” [Quran Al-A’raf: 40].

Dan firman Allah ketika mengisahkan kebinasaan kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam.

فَفَتَحْنَا أَبْوَابَ السَّمَاءِ بِمَاءٍ مُنْهَمِرٍ

“Maka Kami bukakan pintu-pintu langit dengan (menurunkan) air yang tercurah.” [Quran Al-Qamar: 11].

Karena itu, ketika berdiri di depan pintu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“فَضَرَبَ -أي جبريل- بَابًا مِنْ أَبْوَابِهَا..”.

“Dia mengetuk -yaitu Jibril- pintu-pintu…”

Akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengabarkan kepada kita tentang pintu tersebut. Bagaimana bentuknya. Warnanya. Dan sifat-sifatnya. Karena itu, kita pun tidak berkepentingan menerka-nerka dan membayangkan bagaimana bentuk pintu-pintu langit itu.

Penjaga pintu langit itu menanyakan siapa yang mengetuk. Hal ini menunjukkan yang di dalam langit tidak mengetahui siapa yang berada di luar. Atau penjaga langit itu tidak mengenal perwujudan Jibril dalam bentuk manusia ketika itu. Ketika Jibril menyebutkan dirinya, ia bertanya tentang siapa yang bersamanya. Dalam riwayat al-Bukhari dari Abu Dzar, penjaga langit itu bertanya,

هَلْ مَعَكَ أَحَدٌ؟

“Apakah engkau bersama seseorang?”

Dari riwayat ini, kita bisa memahami penjaga langit tidak melihat siapa yang di luar. Jibril pun menjawab,

نَعَمْ مَعِي مُحَمَّدٌ

“Iya, aku bersama Muhammad.”

Jawaban ini merupakan bentuk pengagungan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena ini menunjukkan bahwa penghuni langit mengenal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sifat Langit Dunia


Sebelum peristiwa ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan kepada kita sifat langit dunia. Sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:

“إِذَا قَضَى اللهُ الأَمْرَ فِي السَّمَاءِ، ضَرَبَتِ المَلاَئِكَةُ بِأَجْنِحَتِهَا خُضْعَانًا لِقَوْلِهِ، كَأَنَّهُ سِلْسِلَةٌ عَلَى صَفْوَانٍ، فَإِذَا فُزِّعَ عَنْ قُلُوبِهِمْ قَالُوا: مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ؟ قَالُوا لِلَّذِي قَالَ: الحَقَّ، وَهُوَ العَلِيُّ الكَبِيرُ. فَيَسْمَعُهَا مُسْتَرِقُ السَّمْعِ، وَمُسْتَرِقُ السَّمْعِ هَكَذَا بَعْضُهُ فَوْقَ بَعْضٍ -وَوَصَفَ سُفْيَانُ (هو سفيان بن عيينة أحد رواة الحديث) بِكَفِّهِ فَحَرَفَهَا، وَبَدَّدَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ- فَيَسْمَعُ الكَلِمَةَ فَيُلْقِيهَا إِلَى مَنْ تَحْتَهُ، ثُمَّ يُلْقِيهَا الآخَرُ إِلَى مَنْ تَحْتَهُ، حَتَّى يُلْقِيَهَا عَلَى لِسَانِ السَّاحِرِ أَوِ الكَاهِنِ، فَرُبَّمَا أَدْرَكَ الشِّهَابُ قَبْلَ أَنْ يُلْقِيَهَا، وَرُبَّمَا أَلْقَاهَا قَبْلَ أَنْ يُدْرِكَهُ، فَيَكْذِبُ مَعَهَا مِائَةَ كَذْبَةٍ، فَيُقَالُ: أَلَيْسَ قَدْ قَالَ لَنَا يَوْمَ كَذَا وَكَذَا: كَذَا وَكَذَا. فَيُصَدَّقُ بِتِلْكَ الكَلِمَةِ الَّتِي سَمِعَ مِنَ السَّمَاءِ.

“Apabila Allah memutuskan sebuah perintah di langit, para malaikat menundukkan sayap-sayap mereka dengan penuh takut, bagaikan suara rantai yang ditarik di atas batu putih. Apabila telah hilang rasa takut dari hati mereka, mereka bertanya, ‘Apa yang dikatakakan oleh Tuhan kalian?’ Jibril menjawab, ‘Tentang kebenaran dan Ia Maha Tinggi lagi Maha Besar’. Lalu para pencuri berita langit (setan) mendengarnya. Mereka para pencuri berita langit itu sebagian mereka di atas sebagian yang lain.

Sofyan (perawi hadits) mencontohkan dengan jari-jarinya- yang paling di atas mendengar sebuah kalimat lalu membisikannya kepada yang di bawahnya. Kemudian selanjutnya ia membisikan lagi kepada yang di bawahnya. Dan begitu seterusnya sampai ia membisikannya kepada tukang sihir atau dukun. Kadang-kadang ia disambar oleh bintang berapi sebelum menyampaikannya atau ia telah menyampaikannya sebelum ia disambar oleh bintang berapi. Kemudian setan mencampur berita tersebut dengan seratus kebohongan. Orang-orang berkomentar: bukankah ia telah berkata kepada kita pada hari ini dan ini… maka ia dipercaya karena satu kalimat yang pernah ia dengan langit tersebut’.” (HR. al-Bukhari, 4/1804 (4522).

Peristiwa mendengar ini terjadi ketika diutusnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Firman Allah Ta’ala:

فَمَنْ يَسْتَمِعِ الآنَ يَجِدْ لَهُ شِهَابًا رَصَدًا

“Tetapi sekarang barangsiapa yang (mencoba) mendengar-dengarkan (seperti itu) tentu akan menjumpai panah api yang mengintai (untuk membakarnya).” [Quran Jin: 9]

Dan firman Allah Ta’ala:

إِنَّا زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِزِينَةٍ الْكَوَاكِبِ (6) وَحِفْظًا مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ مَارِدٍ (7) لاَ يَسَّمَّعُونَ إِلَى الْمَلإِ الأَعْلَى وَيُقْذَفُونَ مِنْ كُلِّ جَانِبٍ (8) دُحُورًا وَلَهُمْ عَذَابٌ وَاصِبٌ (9) إِلاَّ مَنْ خَطِفَ الْخَطْفَةَ فَأَتْبَعَهُ شِهَابٌ ثَاقِبٌ

“Sesungguhnya Kami telah menghias langit yang terdekat dengan hiasan, yaitu bintang-bintang, dan telah memeliharanya (sebenar-benarnya) dari setiap syaitan yang sangat durhaka, syaitan syaitan itu tidak dapat mendengar-dengarkan (pembicaraan) para malaikat dan mereka dilempari dari segala penjuru. Untuk mengusir mereka dan bagi mereka siksaan yang kekal, akan tetapi barangsiapa (di antara mereka) yang mencuri-curi (pembicaraan); maka ia dikejar oleh suluh api yang cemerlang.” [Quran Ash-Shaffat: 6-10].

Peristiwa Istimewa


Berangkatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ke langit merupakan peristiwa istimewa. Karena itu, penjaga pintu langit menyambut beliau dengan bahagia dan mengucapkan, “Selamat datang. Sebaik-baik orang yang datang telah tiba.”

Namun demikian, rasa bahagia penyambutan Nabi ini tidak membuat mereka luput dari amanah dalam menjaga pintu langit. Mereka tetap bertanya, “Apakah dia diutus kepada-Nya?” Padahal Jibril adalah pemimpin mereka. Pemimpin mereka membawa manusia yang mereka kenal sebagai manusia mulia. Yang tidak mungkin kedatangan manusia sampai ke pintu langit dan didampingi Jibril, pasti atas izin Allah. Tapi mereka tetap menanyakan hal itu. Hal ini menunjukkan betapa malaikat tidak memaksiati Allah dalam tugas-tugas yang Allah berikan pada mereka.

يَخَافُونَ رَبَّهُمْ مِنْ فَوْقِهِمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

“Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka).” [Quran An-Nahl: 50].

Kemudian penjagan pintu langit pun membukakan pintu. Jibril memasuki langit pertama bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di sini, Nabi Muhammad berjumpa dengan bapak manusia, Adam ‘alaihissalam.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan:

فَلَمَّا فَتَحَ عَلَينَا السَّمَاءَ الدُّنْيَا فَإِذَا رَجُلٌ قَاعِدٌ عَلَى يَمِينِهِ أَسْوِدَةٌ، وَعَلَى يَسَارِهِ أَسْوِدَةٌ، إِذَا نَظَرَ قِبَلَ يَمِينِهِ ضَحِكَ، وَإِذَا نَظَرَ قِبَلَ يَسَارِهِ بَكَى، فَقَالَ: مَرْحَبًا بِالنَّبِيِّ الصَّالِحِ وَالاِبْنِ الصَّالِحِ. قُلْتُ لِجِبْرِيلَ: مَنْ هَذَا؟ قَالَ: هَذَا آدَمُ، وَهَذِهِ الأَسْوِدَةُ عَنْ يَمِينِهِ وَشِمَالِهِ نَسَمُ بَنِيهِ، فَأَهْلُ اليَمِينِ مِنْهُمْ أَهْلُ الجَنَّةِ، وَالأَسْوِدَةُ الَّتِي عَنْ شِمَالِهِ أَهْلُ النَّارِ، فَإِذَا نَظَرَ عَنْ يَمِينِهِ ضَحِكَ، وَإِذَا نَظَرَ قِبَلَ شِمَالِهِ بَكَى

Ketika pintu langit dibukakan untuk kami, ternyata ada seseorang yang sedang duduk. Di sebelah kananya terdapat sekelompok besar orang. Demikian juga di sebelah kirinya. Apabila ia menoleh ke sebelah kanan, ia tersenyum. Saat menoleh ke sebelah kiri, ia menangis.

Lalu orang itu berkata, ‘Selamat datang Nabi yang shalih dan anak yang shalih.’ Aku bertanya kepada Jibril, ‘Siapakah dia?’ Jibril menjawab, Dialah Adam Alaihis Salam, dan orang-orang yang ada di sebelah kanan dan kirinya adalah ruh-ruh anak keturunannya. Mereka yang ada di sebelah kanannya adalah para ahli surga sedangkan yang di sebelah kirinya adalah ahli neraka. Jika dia memandang ke sebelah kanannya dia tertawa dan bila memandang ke sebelah kirinya dia menangis.’ (HR. al-Bukhari dalam Kitab ash-Shalah (342).

Pertemuan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Nabi Adam ‘alaihissalam di langit pertama merupakan penggambaran yang jelas. Adam adalah manusia pertama. Ia adalah ayah dari semua manusia. Termasuk para nabi. Ia berjumpa dengan putranya yang paling mulia, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau termasuk orang yang paling berbahagia dengan kemuliaan keturunannya ini. Kegembiraan itu terlihat dari ucapan beliau:

مَرْحَبًا بِالنَّبِيِّ الصَّالِحِ وَالاِبْنِ الصَّالِحِ

“Selamat datang Nabi yang shalih dan anak yang shalih.”

Dalam riwayat lain disebutkan:

مَرْحَبًا وَأَهْلاً بِابْنِي، نِعْمَ الاِبْنُ أَنْتَ

“Selamat datang wahai anakku. Engkau adalah sebaik-baik anak.” (HR. al-Bukhari dalam Kitab at-Tauhid (7079).

Berkumpul Semua Ruh


Peristiwa yang menjadi perhatian dalam pertemuan Nabi Muhammad dengan Nabi Adam adalah berkumpulnya semua ruh manusia di sekitar Nabi Adam. Ruh-ruh penghuni surga berkumpul di sebelah kanan beliau. Sedangkan ruh-ruh penghuni neraka berada di sisi kirinya. Beliau tersenyum dan menangis. Senyuman beliau adalah ekspresi kebahagiaan. Sedang tangis beliau adalah wujud kasih sayang beliau terhadap anak-anaknya yang akan menemui tempat kembali yang buruk.

Bisa jadi juga beliau merasa bersalah karena beliau menjadi lantaran manusia turun ke bumi. Sehingga manusia berhadapan dengan ujian. Dan mereka gagal menghadapi ujian tersebut. Makna inilah yang beliau ungkapkan ketika berhadapan dengan manusia di Padang Mahsyar kelak. Beliau berkata,

وَهَلْ أَخْرَجَكُمْ مِنَ الجَنَّةِ إِلاَّ خَطِيئَةُ أَبِيكُمْ آدَمَ، لَسْتُ بِصَاحِبِ ذَلِكَ..

“Bukankah yang mengeluarkan kalian dari surga adalah kesalahan ayah kalian Adam. Aku tak layak memberi syafaat untuk kalian…” (HR. Muslim dalam Kitab al-Iman (195).

Tiga Sungai Surga


Di antara hal lainnya yang dilihat Nabi shallallahu antara langit pertama dan langit kedua adalah tiga sungai besar. Ketiga sungai itu adalah Sungai Nil, Sungai Eufrat, dan al-Kautsar.

فَإِذَا هُوَ فِي السَّمَاءِ الدُّنْيَا بِنَهَرَيْنِ يَطَّرِدَانِ، فَقَالَ: مَا هَذَانِ النَّهَرَانِ يَا جِبْرِيلُ؟ قَالَ: هَذَا النِّيلُ وَالْفُرَاتُ عُنْصُرُهُمَا. ثُمَّ مَضَى بِهِ فِي السَّمَاءِ، فَإِذَا هُوَ بِنَهَرٍ آخَرَ عَلَيْهِ قَصْرٌ مِنْ لُؤْلُؤٍ وَزَبَرْجَدٍ، فَضَرَبَ يَدَهُ فَإِذَا هُوَ مِسْكٌ أَذْفَرُ، قَالَ: مَا هَذَا يَا جِبْرِيلُ؟ قَالَ: هَذَا الكَوْثَرُ الَّذِي خَبَأَ لَكَ رَبُّكَ

“Ternyata di langit dunia ada dua sungai yang mengalir, Nabi Muhammad bertanya, ‘Dua sungai apa ini wahai Jibril? ‘ Jibril menjawab, ‘Ini adalah Nil dan Eufrat.’ Kemudian Jibril terus membawa Nabi ke langit, tiba-tiba ada sungai lain yang di atasnya ada istana dari mutiara dan intan, Nabi memukulnya dengan tangannya, tiba-tiba baunya seperti minyak wangi adlfar. Nabi bertanya, ‘Ini apa wahai Jibril? ‘ Jibril menjawab, ‘Ini adalah telaga al Kautsar yang sengaja disimpan oleh Tuhanmu untukmu’.” (HR. al-Bukhari dalam Kitab at-Tauhid (7079).

Dalam perjalanan ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat tiga sungai. Yang pertama dan kedua adalah Sungai Nil dan Eufrat. Keduanya akan beliau lihat kembali di langit ketujuh. Adapun al-Kautsar adalah sungai yang istimewa. Ia adalah hadiah yang Allah berikan kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Airnya harum bak misik. Bahkan lebih hebat lagi. Ia merupakan sungai di antara sungai-sungai surga.



BERANDA

Sunday, January 14, 2018

UMMU HANI'

UMMU HANI’ BINTI ABI THALIB

UMMU HANI’ BINTI ABI THALIB



Wanita Istimewa


Sosok wanita istimewa ini memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dengan Nabi Muhammad ﷺ. Ia adalah sepupu Nabi dan kakak perempuan dari dua orang laki-laki istimewa; Ali bin Abi Thalib dan Ja’far bin Abi Thalib. Tentu menambah gairah untuk semakin mengenalnya.

Mengenal Ummu Hani’


Namanya adalah Fakhitah binti Abi Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasyim. Ibunya adalah Fatimah binti Asad bin Hasyim bin Abdu Manaf. Ada juga yang meriwayatkan nama Ummu Hani’ adalah Hindun. Tapi yang populer dan banyak periwayatannya adalah Fakhitah.

Nabi Muhammad ﷺ sangat mencintai sepupu-sepupunya, anak dari pamannya Abu Thalib. Ketika orang tua dan kakek Nabi wafat, sang pamanlah yang merawatnya dengan penuh kasih sayang. Nabi Muhammad ﷺ membalas kasih sayang pamannya dengan memberi perhatian dan cinta kepada sepupu-sepupunya yang masih kecil.

Diriwayatkan, sebelum masa kerasulan, Rasulullah ﷺ pernah melamar Fakhitah. Namun Abu Thalib menolak tawaran itu. Dan menerima pinangan Hubayra bin Abi Wahb. Karena bani Makhzum, klan Hubayra, pernah menikahkan putri mereka dengan salah seorang dari kabilah Abu Thalib. Sehingga untuk menjaga hubungan baik, kabilah Abu Thalib membalas perlakuan itu. Nilai inilah yang berlaku dalam tradisi Arab kala itu.

Akhirnya Fakhitah menikah dengan Hubayra. Pasangan ini tinggal di Mekah dan dikaruniai empat orang anak. Yang tertua bernama Hani’. Karena itu Fakhitah dikenal dengan Ummu Hani’ (ibunya Hani’). Namun sayang, sang suami enggan memeluk Islam. Saat Fathu Mekah, ia lari keluar Mekah. Enggan memeluk Islam.

Kedudukan Disisi Rosululloh


Ummu Hani’ pernah menemui Rasulullah ﷺ di hari penalukkan Kota Mekah. Ia menceritakan, “Aku pergi menemui Rasulullah pada tahun penaklukkan Kota Mekah. Saat itu beliau sedang mandi. Dan putrinya Fatimah menutupinya (dengan tabir). Kuucapkan salam. Beliau (di balik tabir) bertanya, ‘Siapa itu?’ ‘Aku, Ummu Hani’ binti Abi Thalib’, jawabku. ‘Marhaban Ummu Hani’, sambut beliau.

Usai mandi beliau menunaikan shalat 8 rakaat dengan berbalut satu pakaian. Setelah shalat, aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, saudaraku –Ali bin Abi Thalib-, ingin membunuh seseorang yang aku lindungi, Fulan bin Hubayra’. Rasulullah bersabda, ‘Sungguh kami melindungi orang yang engkau lindungi wahai Ummu Hani’’. ‘Jika demikian jelas masalahnya’, jawab Ummu Hani’. (HR. al-Bukhari juz: 5. Hal: 2280).

Ketika Ummul Mukminin Khadijah wafat, Rasulullah merasa begitu sedih. Dalam keadaan itu, beliau sering menemukan penghiburan di rumah Umm Hani’. Keluarganya mendukung dan menghiburnya saat beliau sedang berkabut duka.

Awal Mulanya Isra' Mi'raj


Ummu Hani’ adalah sosok penting dalam sejarah Islam. Dari rumahnya, di bawah atap yang menjadi langit keluarganya, sebuah kemukjizatan pernah terjadi. Kediamannya yang penuh berkah menjadi saksi peristiwa Isra Mi’raj. Nabi Muhammad ﷺ datang ke rumah Ummu Hani’, melakukan shalat malam lalu tidur di sana. Malam itu, rumah Ummu Hani’ dikunjungi malaikat paling mulia, Jibril ‘alaihissalam, untuk menjemput Nabi Muhammad ﷺ. Dari sanalah peristiwa Isra Mi’raj bermula. Perjalanan satu malam menuju Jerusalem dan Sidratul Muntaha dimulai. Saat fajar tiba, Nabi pun kembali ke tempat yang sama. Kemudian Nabi Muhammad ﷺ mengabarkan Ummu Hani’ tetang perjalanannya. Ia pun mengimani sabdanya.

Hadits-Hadits Yang Diriwayatkan Ummu Hani’

Pertama: Dari Abdurrahmaan bin Abi Laila. Ia berkata, “Tidak ada seorang pun yang menceritakan kepadaku bahwa ia melihat Nabi Muhammad ﷺ melakukan shalat Dhuha kecuali Ummu Haani’. Sungguh ia pernah mengatakan, “Sesungguhnya Nabi Muhammad ﷺ pernah masuk ke rumahnya pada hari Fathu Mekah, lalu beliau mandi dan melakukan shalat delapan rakaat. Aku tidak pernah melihat shalat yang lebih ringan daripada itu, namun beliau tetap menyempurnakan rukuk dan sujudnya.” (HR. al-Bukhari no. 1176).

Kedua:
عَنْ أُمِّ هَانِئٍ قَالَ لَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اتَّخِذِي غَنَمًا يَا أُمَّ هَانِئٍ فَإِنَّهَا تَرُوحُ بِخَيْرٍ وَتَغْدُو بِخَيْرٍ
Dari Ummu Hani’. Nabi Muhammad ﷺ berpesan kepadanya, “Peliharalah kambing wahai Ummi Hani’, karena ia pergi dengan kebaikan dan kembali dengan kebaikan.” (HR. Ahmad No.25667).

Dan masih banyak hadits-hadits lain yang beliau riwayatkan.

Wafatnya Beliau


Tidak ada sumber yang dapat dijadikan rujukan tentang kapan wafatnya Ummu Hani’. Kabar yang disepakati tentang usianya adalah Ummu Hani’ hidup hingga lebih dari 50 H.

Referensi dari buku-buku hadits; Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, dan Riyadhush Shalihin



BERANDA